Tahun baru selalu identik dengan harapan baru. Ada resolusi, di mana banyak orang merinci sejumlah hal yang akan dilakukan sepanjang 2017. Pada saat yang sama, pencapaian 2016 dikaji untuk kemudian menjadi pijakan dalam menapaki waktu tahun berikutnya.
Sebagai sebuah pencapaian, kinerja perekonomian di Indonesia pada 2016 terbilang lumayan. Bahkan bila dibandingkan dengan 2015, relatif lebih baik karena sejumlah indikator utama yakni pertumbuhan ekonomi, suku bunga rendah sehingga biaya dana makin murah, inflasi terkendali, hingga situasi politik stabil.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar 5,1%-5,2%, relatif lebih baik dibandingkan dengan banyak negara lain yang terpuruk. Bahkan kantor berita Bloomberg menilai Indonesia mencapai prestasi di bidang ekonomi, mengungguli sejumlah negara di Asia seperti China, Jepang, Korea Selatan, India, Malaysia, hingga Australia.
Dalam tiga indikator utama yang dinilai—per-tumbuhan ekonomi (5,02%), nilai tukar (4,1%), dan dukungan dalam negeri (69%)—Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo tak satupun mendapatkan rapor merah. Bandingkan dengan Korea Selatan di bawah Presiden Park Geun-Hye yang memerah karena ekonomi tumbuh hanya 2,6%, dukungan dalam negeri 4%, dan nilai tukar won terhadap dolar AS terdepresiasi 2,87%.
Salah satu masterpiece 2016 adalah program amnesti pajak yang terhitung sukses karena diikuti oleh sejumlah besar warga negara melalui deklarasi harta baik di dalam dan luar negeri.
Pada 2017, kita masih menunggu hasil program pengampunan tahap III yang ditutup pada 31 Maret.
Namun, 2016 juga meninggalkan keprihatian karena secara keseluruhan penerimaan pajak mencatatkan shortfall cukup besar. Hanya saja, persentase belanja negara yang relatif stagnan bahkan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan 2015, menjadikan defisit APBN terjaga di bawah 2,7%. Bertambahnya jumlah basis pajak asil program tax amnesty, menjadi modal agar penerimaan pajak tahun ini sesuai rencana.
Sejumlah pengalaman 2016, sudah semestinya menjadi reflektor Indonesia menyongsong 2017. Pertama, dari sisi industri perbankan, pertum-buhan kredit maupun dana berjalan sangat lambat karena daya beli masyarakat yang masih lemah. Kedua, gejala deindustrialisasi makin kentara, salah satunya dipicu oleh daya beli lemah tingkat kemudahan bisnis rendah.
Catatan ketiga, adalah situasi politik yang kondusif sepertinya hanya terjadi pada tiga kuartal pertama menyusul ‘gaduh Ahok’ karena tuduhan penistaan agama. Indonesia tiba-tiba terbelenggu dalam isu sensitif, dan menjadi perhatian agar tidak berkembang menjadi konflik yang berujung pada rusaknya sendi-sendi perekonomian.
Bila itu terjadi, kesempatan Indonesia tumbuh lebih tinggi akan terganggu kendati sejumlah prasyarat sudah disusun sejak akhir 2015 melalui berbagai paket deregulasi ekonomi & bisnis yang sudah mencapai belasan. Momentum harus dijaga, karena ini terkait dengan peluang besar Indonesia menjadikan 2017 sebagai tahun ekspansi.
Deregulasi ekonomi bisnis yang telah berlang-sung selama 15 bulan, semestinya telah membuahkan hasil pada 2017. Apalagi seiring waktu berjalan, sejumlah hambatan telah bisa disingkirkan, termasuk penghapusan ribuan peraturan daerah yang dianggap mengganjal kemudahan berbisnis.
Deregulasi seharusnya menjadi pengungkit bagi bergeraknya roda perekonomian yang lebih cepat. Tanda utama antara lain investasi tumbuh, daya beli konsumen meningkat dan memulai bisnis semakin mudah. Entrepeneurship juga mutlak terus dikembangkan agar tenaga produktif tidak semata menjadi pencari kerja, tetapi juga pencipta lapangan pekerjaan.
Secara global, ekonomi 2017 diproyeksikan akan lebih baik seperti diperkirakan Dana Moneter Internasional tumbuh 3,4% dari prediksi 2016 sebesar 3,1%. Optimisme perokonomian na-sional seharusnya kita jaga. Momentum ekspansif masih terbuka lebar ketika kita mampu mengoptimalkan sejumlah potensi yang ada.
Semua itu bisa terwujud bila semua pihak bahu membahu. Niat baik pemerintah menarik investasi perlu didukung oleh sikap pelaku bisnis pendukung seperti sektor perbankan yang makin ekspansif dalam mengucurkan kredit.
Hasil 2016 memang bukan alasan bagi kita untuk cepat berpuas diri. Namun berharap tahun ini akan lebih baik dari sebelumnya tidaklah berlebihan. Kewaspadaan tetap harus dijaga, tetapi menjaga harapan diiringi kerja keras adalah pra-syarat utama untuk menyongsong masa depan yang lebih baik.