Kabar24.com, JAKARTA – Terungkapnya penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap 15 perusahaan yang diduga melakukan pembakaran hutan di Riau beberapa waktu lalu kembali mendapat sorotan Komisi III DPR.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Kejaksaan Agung (Kejagung), anggota komisi III dari Fraksi PDI Perjuangan Junimart Girsang mempertanyakan peran kejaksaan terhadap penghentian perkara itu.
Menurutnya, penghentian perkara terjadi lantaran kurangnya koordinasi antara kejaksaan dengan penyidik Polri dalam penyerahan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
“Sebagai aparat penegak hukum tentu kita bekerja sesuai dengan KUHAP, dimana-mana saya selalu berbicara soal itu,” kata Junimart di DPR, Jakarta, Selasa (6/12).
Menurutnya, penerbitan SP3 oleh Kepolisian Daerah (Polda) Riau itu penuh kejanggalan, pasalnya kejaksaaan belum pernah menerima pemberitahuan penyidikan dari penyidik kepolisian. Artinya, kata dia, ketika surat tersebut belum diterima, jika merujuk kepada KUHAP, seharusya pengeluaran SP3 tidak bisa dilakukan.
Karena itu, politisi partai berlambang banteng tersebut meminta Kejagung mempertanyakan setiap pemberitahuan penyidikan perkara ke penyidik Polri. Hal itu penting, karena fungsi kejaksaan tak sebatas mitra penegakan hukum tetapi juga memiliki fungsi pengawasan terhadap kepolisian.
“Karena tidak melakukan, akhirnya kita kecolongan juga, kasus kebakaran hutan dan lahan di Pekanbaru, Riau sebagai contohnya. SP3 terbit tanpa ada SPDP, SP3 bisa terbit tanpa ada tersangka,” lanjut Junimart.
SPDP, kata dia, merupakan fungsi kejaksaan untuk mengawasi suatu perkara. Berkaca dari kasus itu, dia meminta lembaga Adhyaksa itu menginstruksikan jajarannya supaya mengawasi setiap perkara yang ditangani kepolisian.
“Ini perlu saya tekankan, karena kasus kebakaran hutan dan lahan di Riau tersebut telah menggegerkan dunia. Kajati Riau saat itu hanya menerima tiga SPDP, selebihnya tidak tahu,” imbuhnya.
Adapun perkara itu bermula pada tahun 2015 lalu, saat itu Polda Riau menangani 18 perusahaan yang diduga membakar hutan dan lahan. Dari jumlah tersebut hanya tiga yang SPDP-nya diberitahukan ke kejaksaan. Dari tiga perkara itu, satu diantaranya telah masuk ke pengadilan dan sudah mendapat putusan berkekuatan hukum tetap.
Sedangkan sisanya, yakni 15 perusahaan lainnya mendapat SP3 dari Polda Riau. Sejumlah pihak menengarai ada ketidakberesan penerbitan SP3 tersebut. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau misalnya telah mengajukan praperadilan terkait penerbitan penghentian perkara yang masuk kategori kejahatan lingkungan tersebut.
Dalam keterangan tertulis yang dikutip dalam laman resmi mereka, organisasi yang bergerak di isu lingkungan itu menyatakan, praperadilan diajukan untuk memaksa kepolisian kembali membuka penyidikan terhadap sejumlah perusahaan yang diduga melakukan kejahatan lingkungan.
Kendati demikian, gugatan dari lembaga non pemerintah itu tidak diterima oleh hakim Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru. Hakim tunggal Sorta Ria Neva berpendapat penerbitan SP3 oleh Polda Riau sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.
Ranah Kepolisian
Secara terpisah, Jaksa Agung M. Prasetyo menjawab kritikan dari anggota Komisi III tersebut. Dia tak memungkiri, lazimnya dalam setiap perkara yang akan dinaikkan ke tingkat penyidikan, pihak kepolisian memberikan SPDP-nya ke kejaksaan. Hal itu dilakukan untuk mengetahui progres perkara yang tengah disidik.
“Terkait kasus itu, memang itu sudah di luar kebiasaan. Semestinya penyidik [Polri] wajib melakukan menyerahkan SPDP,” kata Prasetyo.
Meski menyatakan wajib, namun Jaksa Agung mengaku tidak tahu menahu alasan pengeluaran SP3 tersebut, menurut mereka kejaksaan tidak ada sangkut pautnya dengan perkara itu. Bahkan, informasi yang dia dengar, di internal kepolisian perkara itu juga banyak diperbincangkan.
“Sebenarnya kami juga memiliki peluang untuk melakukan praperadilan, hanya saja memang adapakewuh diantara penegak hukum. Karena itu peran dari Komisi III menjadi penting untuk menuntaskan kendala tersebut,” ujar dia.
Adapun sesuai data Kejagung, selama tahun 2016 mereka mencatat ada 181 perkara kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang masuk ke bagian Pidana Umum Kejagung. Pelaku pembakaran lahan didominasi oleh perorangan, jumlahnya sebanyak 163. Sedangkan yang melibatkan korporasi sebanyak 18 perkara.