Kabar24.com, CIREBON - Penggunaan pengeras suara yang tidak diatur volumenya dinilai berpotensi memancing gesekan di tengah masyarakat.
Anggota Komisi VIII DPR Maman Imanulhaq mengatakan untuk pengeras suara yang berada ditempat ibadah perlu diatur, karena hal itu kerap memicu konflik seperti amuk massa di Tanjung Balai yang dipicu oleh pengeras suara.
"Ini tidak boleh dianggap sepele, karena banyak kasus serupa itu jadi pemicu gesekan sosial serius," kata Maman saat dihubungi, Senin (1/8/2016).
Ia menilai perlu ada pengaturan agar tidak ada lagi konflik muncul, regulasi khusus yang mengatur pengeras suara perlu dikaji ulang masih relevankah dan seperti apa penerapan di lapangan.
Maman memandang bahwa kegiatan keagamaan umat manapun semestinya tidak dilakukan secara berlebihan, seperti penggunaan pengeras suara yang mungkin dapat menggangu pihak lain.
Sejalan dengan pandangan Maman itu, Instruksi Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor KEP/D/101/1978 telah mengatur bahwa penggunaan pengeras suara ke luar supaya tidak meninggikan suara yang berakibat pada hilangnya simpati pihak lain dan hanya berlaku untuk panggilan adzan.
Sementara untuk kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya seperti doa dan khutbah hanya dibolehkan menggunakan pengeras suara ke dalam.
"Mengeraskan panggilan adzan jangan sampai hanya menimbulkan "polusi suara" yang justru menimbulkan antipati umat agama lain," tuturnya.
"Panggilan Adzan sebaiknya dilakukan oleh muadzin yang bersuara merdu dengan menggunakan pengeras suara secara tidak berlebihan," lanjutnya.
Ia menilai bahwa instruksi Dirjen Bimas Islam ini kurang tersosialisasi ke masyarakat, karena itu semestinya pengaturan pengeras suara dalam kegiatan keagamaan diatur dalam peraturan yang lebih tinggi agar lebih tersosialisasi dan dapat ditegakkan lebih tegas.
"Aturan apapun tidak akan menyelesaikan masalah, tanpa ada rasa saling memahami, menghargai dan menghormati antarpemeluk agama sebagai dasar toleransi, itu kuncinya," katanya.