Bisnis.com, JAKARTA - Gugatan PT Bukit Darmo Property Tbk., terhadap majelis arbiter Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dikabulkan sebagian oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Majelis arbiter yang memeriksa perkara PT Bukit Darmo Property dengan PT Wika Realty Tbk. digugat lantaran melakukan perbuatan melawan hukum. Arbiter juga dianggap lalai menjalankan tugas pemeriksaannya.
Persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim I Ketut Tirta, dan beranggotakan Hakim Suyadi dan Imam Gultom ini menyatakan majelis arbiter selaku tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat untuk membayar kerugian materil senilai Rp100 juta.
Kuasa Hukum Penggugat Damianus H. Renjaan mengatakan keputusan majelis hakim memang tidak mengabulkan seluruh gugatan penggugat. Namun pihaknya menilai majelis hakim telah bertindak adil dalam memberikan sanksi kepada majelis arbiter.
“Pertimbangan majelis hakim dalam membuat keputusan ini karena majelis arbiter telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum ketika memeriksa kasus klien kami [Bukit Darmo] dengan Wika,” katanya kepada Bisnis, Kamis (19/5/2016).
Majelis arbiter terbukti di persidangan, tidak melakukan pemeriksaan setempat ke lokasi perkara di Surabaya Jawa Timur tempat proyek mal dan apartemen milik penggugat didirikan.
Majelis hakim menilai para arbiter lalai dalam menjalankan tugasnya. Kelalaian tersebut dianggap fatal dan mempengaruhi jalannya proses persidangan.
Pada sidang putusan tersebut, majelis arbiter memiliki alasan yang tidak cukup kuat guna mendukung pernyataanya. Mereka beralasan bahwa keterbatasan waktu menyebabkan Badan Arbitrase Nasional Indonesia tidak sempat melakukan pemeriksaan setempat ke Surabaya.
“Alasan tersebut bukanlah alasan yuridis yang dibuat oleh lembaga majelis arbiter,” tutur Damianus.
Sementara itu, Kuasa Hukum para arbiter Kamil Zacky dari kantor hukum YBP mengaku belum terlalu paham dengan putusan majelis hakim pada perkara dengan No. 454/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Sel ini.
Menurutnya, teknis pembacaan putusan oleh ketua majelis hakim dianggap tidak serius karena suara yag amat lirih. Pihak tergugat sekaligus WIKA tidak mendengar keseluruhan putusan ketua majelis hakim.
Ketua majelis hakim juga tidak memberi kesempatan majelis anggota untuk membacakan amar putusan. Penggugat harus mendapat salinan putusan terlebih dulu lantaran amar putusan yang dibacakan hakim dinilai tidak jelas.
Kendati begitu, apabila putusan yang disebut oleh pihak penggugat benar adanya, para arbiter akan mengajukan banding. Tergugat tidak terima apabila memang harus membayar ganti rugi.
“Kalau kami diberi sanksi membayar ganti rugi itu namanya salah kaprah. Masa arbiter yang berhak memutuskan arbitrase dituntut ganti rugi, ya enggak mungkinlah,” katanya kepada Bisnis.
Menurutnya tugas majelis hakim dan majelis arbiter itu sama dan tidak bisa saling gugat menggugat. Selain itu, Kamil beranggapan badan arbitrase memiliki hak prerogatif untuk menggelar atau meniadakan pemeriksaan setempat di lokasi. Pihak lain, dalam hal ini penggugat, tidak berhak meningintervensi majelis arbiter.
Dia menambahkan, dugaan iktikad buruk yang dialamatkan kepada arbiter adalah sesuatu yang abstrak. Lagipula, majelis arbiter berwenang penuh untuk menetapkan hal-hal yg merupakan wewenangnya dalam memeriksa perkara.
Perkara yang terdaftar sejak kuartal II1/2015 ini bermula saat penggugat dan WIKA menjalin kerjasama untuk pembangunan proyek mall dan apartemen Adhiwangsa Residence di Surabaya. Penggugat merupakan pemilik proyek yang bernilai Rp500 miliar, sedangkan WIKA berperan sebagai kontraktor.
Dalam perkembangannya, penggugat berkode emiten BKDP mengklaim berdasarkan pengukuran PT Jurukur Bahan Indonesia, proyek baru 90%. Namun, WIKA tetap bersikeras telah menyelesaikan proyek seluruhnya. Konflik ini kemudian diselesaikan di Badan Arbitrase Nasional Indonesia.