Bisnis.com, Samarinda- Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang sedang disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah Samarinda harus menjamin kepastian aspek ekonomi industri hasil tembakau (IHT). Hal ini mengacu Peraturan pemerintah (PP) No 109 Tahun 2012.
“Kami meminta DPRD dan Pemda Kota Samarinda dan Balikpapan untuk mengacu pada PP 109 Tahun 2012 dalam menyusun Raperda tentang Kawasan tanpa Rokok,” ujar Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo di Samarinda, Selasa (22/3/2016).
AMTI menilai Raperda KTR Samarinda yang tengah disusun masih bertentangan dengan peraturan di tingkat nasional dan akan mengancam penghidupan jutaan masyarakat yang terlibat dalam IHT. Padahal, secara hukum, peraturan di tingkat nasional harus menjadi acuan bagi peraturan daerah dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang hierarkinya lebih tinggi.
“Kami menemukan beberapa ketentuan dalam Raperda KTR Samarinda yang bertentangan dengan PP No. 109 tahun 2012 (PP No.109/2012), khususnya terkait kegiatan penjualan, iklan, dan promosi produk tembakau. Hal ini tentunya melanggar ketetapan Undang Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ujar Budidoyo.
Sementara itu, pada kesempatan yang sama Soeseno Ketau Departemen Advokasi dan Hubungan Kelembagaan AMTI mengatakan saat ini AMTI telah bersurat ke Pemkot Samarinda pada 7 Maret 2016 lalu dan telah mendatangi Biro Hukum untuk mendapat respons.
“Kami menunggu kesempatan bisa beraudensi dengan Pemkot dan DPRD Samarinda. Agar, kami bisa beri masukan secara formal baik lisan maupun tulisan untuk Raperda KTR. Kami berharap masukan dari AMTI bisa lebih komperhensif dan tepat untuk Perda disusun. Supaya tidak ada resistensi yang timbul dari masyarakat kemudian hari,” kata Soesono.
Soeseno mengungkapkan AMTI saat ini belum bisa berikan masukan ke Raperda KTR Samarinda karena belum mendapat draft Raperda. Namun, AMTI telah mengkaji Peraturan Walikota Samarinda no. 51 tahun 2012 tentang Kawasan Tanpa Rokok yang menjadi acuan menjadi Raperda KTR, yang dinilai telah melanggar PP.
“Dalam Perwali di pasal 5 ayat (1) dan (2) mengatur keberadaan kawasan tanpa iklan rokok. Pasal tersebut bertentangan dengan PP 109/2012 pasal 31 dan pasal 50 ayat (2) mengenai kawasan dimana aktifitas mempromosikan, mengiklankan, menjual dan membeli rokok dapat dilakukan. Pasal ini menghilangkan hak produsen untuk mengkomunikasikan produknya kepada konsumennya,” tegas Soeseno.
Perwali Samarinda no. 51 tahun 2012 tentang Kawasan Tanpa Rokok juga bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa konsumen memiliki hak atas informasi mengenai produk barang dan/atau jasa.
Soeseno berharap, DPRD dan Pemkot Samarinda akan segera melibatkan dan mendengarkan masukan dari para pemangku kepentingan terkait dengan industri tembakau nasional yang akan terdampak secara langsung akibat kebijakan ini.
"Industri hasil tembakau, yang menyerap 6 juta tenaga kerja dan tahun lalu berkontribusi sebesar Rp. 139,5 triliun terhadap penerimaan cukai negara, telah berada dalam tekanan yang besar dengan kebijakan cukai dan pajak. Kami berharap pemerintah daerah tidak menambahkannya dengan kebijakan kawasan tanpa rokok yang eksesif,” jelas Soeseno.