Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KEMITRAAN TRANS-PACIFIC: Ujian Menjelang Akhir Jabatan Obama

Meskipun menghadapi sejumlah penolakan bahkan cenderung membesar, harapan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama untuk mengesahkan Trans-Pacific Patnership atau TPP nampaknya belum pudar. Dia bahkan terlihat semakin bersemangat menjelang akhir masa kepemimpinannya.
Presiden AS Barack Obama. /Reuters
Presiden AS Barack Obama. /Reuters

Kabar24.com, JAKARTA - Meskipun menghadapi sejumlah penolakan bahkan cenderung membesar, harapan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama untuk mengesahkan Trans-Pacific Patnership atau TPP nampaknya belum pudar. Dia bahkan terlihat semakin bersemangat menjelang akhir masa kepemimpinannya.

Obama terus berusaha menunjukkan komitmennya dalam mendorong Kongres AS untuk meratifikasi dokumen kerja sama TPP. Dia bahkan ingin proses itu bisa rampung sebelum dia mengakhiri masa jabatannya pada Januari 2017, meskipun ratifikasi memiliki toleransi waktu dua tahun sejak ditandatangani di Selandia Baru awal Februari.

“Kami terus menyiapkan dokumen yang dibutuhkan untuk Kongres AS. Kami optimistis fakta ini akan mendapat dukungan dari Kongres,” kata Obama, pada Feburari.

Seperti diketahui, pakta kerjasama TPP ini dinyatakan resmi dilaksanakan apabila setidaknya enam negara yang menyumbang 85% dari produksi kotor gabungan domestik dari 12 negara ang-gota TPP, menyatakan kesepakatannya terkait dokumen kerja sama TPP.

TPP melibatkan AS, Jepang, Malaysia, Vietnam, Singapura, Brunei Darussalam, Australia, Selandia Baru, Kanada, Meksiko, Cile dan Peru. Negeri Paman Sam dan Negeri Samurai bahkan menjadi dua negara dengan potensi persentase sumbangan terbesar pada produksi kotor anggota TPP.

Maka dari itu, baik AS maupun Jepang perlu melakukan ratifikasi pribadi di negara masing-masing, demi mencapai standar umum yang terdapat di TPP. Kedua negara ini dituntut menetapkan standar umum tentang hak-hak pekerja dan perlindungan kekayaan intelektual, yang dapat diterapkan di 10 negara anggota lainnya.

“Presiden Obama berkomitmen penuh untuk memperoleh ratifikasi dari Kongres AS dalam waktu dekat. Dia juga mendorong semua mitra TPP untuk bergerak melalui proses domestik dalam memperoleh ratifikasi,” kata Penasihat Keamanan Nasional AS Susan Rice, Rabu (10/3).

Keinginan Obama yang menggebu-gebu untuk segera mendapatkan ratifikasi dari Kongres AS tersebut wajar adanya. Pasalnya, sentimen anti-TPP semakin menguat dan membesar akhir-akhir ini. Terlebih, isu anti-TPP ini telah menjadi komoditas kampanye politik paling ‘panas’ di kalangan para calon presiden.

Sementara itu, menurut Rice, TPP adalah  masalah warisan dari masa kepemimpinannya di AS. Dia ingin agar kerja sama perdagangan antarnegara ini benar-benar terlaksana dan tak ingin gagal di tangan pemimpin lainnya.

TPP memang berpeluang gagal terwujud apabila ratifikasi dari Kongres AS tidak didapatkan sebelum Obama lengser. Pasalnya, hampir seluruh calon presiden AS yang paling potensial, menyatakan penolakannya kepa-da kerjasama TPP ini.

KEMITRAAN TRANS-PACIFIC: Ujian Menjelang Akhir Jabatan Obama


LAPANGAN KERJA

Donald Trump yang merupakan salah satu calon presiden paling pontesial dari Partai Republik, tercatat menjadi orang yang paling depan menolak TPP. Dalam sejumlah kampanyenya di beberapa negara bagian, Trump menjadikan isu TPP sebagai bahan kampanyenya.

Dampaknya, Trump berhasil mencatatkan kemenangan besar di beberapa wilayah, di mana dia menjadikan isu TPP sebagai topik utama kampanyenya. Salah satunya terjadi di Michigan pada Selasa (8/3).

Senada, hal yang sama pun dilakukan oleh Bernie Sanders, calon presiden dari partai yang sama dengan Obama yakni Demokrat. Dia mengatakan kesepakatan TPP hanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan besar.

“Wall Street dan perusahaan-perusahaan besar akan menjadi pemenangnya. Dan hanya mereka yang akan menikmati kerja sama ini,” kata Sanders.

Dia menambahkan, TPP berpotensi besar menyebabkan sejumlah lapangan pekerjaan di AS lenyap. Untuk itu dia mengaku akan melakukan segala hal untuk menggagalkan perjanjian itu, terlebih dia masih menjadi anggota Kongres AS.

Sanders pun secara terang-terangan menyerang sesama calon presiden dari Partai Demokrat Hillary Clinton akibat isu TPP ini. Clinton dituduh menjadikan isu penolakan TPP sebagai retorika kampanyenya.

Pendapat tersebut didasarkannya pada keputusan Clinton saat menjabat sekertaris negara AS di masa jabatan Obama pertama. Kala itu, Clinton mendukung dilaksanakannya TPP ini, dan saat ini Sanders meragukan ke  tulusan penolakan terhadap TPP ini.

Namun, istri dari Bill Clinton ini akhirnya mengubah orientasinya terkait dengan kerja sama dagang tersebut menjelang proses penjaringan calon presiden AS. Dia berdalih, kesepakatan itu tidak akan cukup untuk menindak manipulasi mata uang atau melindungi konsumen dari harga obat yang terlalu tinggi akibat kesepakatan TPP.

Kondisi ini membuat Obama secara tak langsung harus bekerja semakin keras dalam mewu-judkan TPP. Keputusan Clinton yang merupakan kawan politik terdekatnya untuk menolak TPP, diperkirakan telah menimbulkan tekanan yang sangat besar bagi Obama.

“Ada saat-saat di mana sentimen anti-perdagangan telah mencapai titik paling penting dan krusial dalam panggung politik AS dan di negara-negara lain. Namun saya tidak yakin kebijakan kerjasama TPP ini dapat diserap dengan baik dalam pola pikir masyarakat,” kata Rice.

Namun demikian, sejumlah penolakan yang masif tersebut membuat Obama berjalan sendirian. Kalangan pengusaha dan industri mengaku berada di belakang sang presiden untuk mendorong pengesahan pakta TPP di tingkat Kongres AS.

Presiden Asosiasi Pengusaha Ritel dan Distributor Alas Kaki AS Matt Priest mengatakan, dia tidak yakin Trump atau Clinton akan melanjutkan pembahasan TPP ini. “Satu-satunya harapan kami ada di Obama, maka kami berharap pakta TPP dapat disahkan di Kongres AS paling lambat akhir tahun ini,’ katanya, Rabu (9/3/2016).

Di sisi lain upaya Obama untuk memperkuat kesepakatan TPP juga digencarkannya di luar AS, terutama di Asean. Pada pertengahan Februari lalu Obama merilis paket kebijakan yang  berisi rencana kerjasama ekonomi antara AS dan negara Asean, terutama di bidang TPP.

Salah satunya dengan membuka tiga kantor urusan perekono-mian di Jakarta, Bangkok, dan Singapura. Program yang disebut AS-Asean Connect ini akan menjadikan kantor tersebut sebagai pusat konsultasi bagi negara-negara anggota dan non-anggota TPP, seperti Indonesia untuk memperoleh informasi terkait TPP. (Reuters/Bloomberg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Jumat (11/3/2016)
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper