Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah masyarakat yang tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat Imparsial menolak adanya sanksi pencabutan kewarganegaan yang diatur dalam Undang--Undang nomor 15 tahun 2003.
Sanksi tersebut tertera dalam draft perubahan UU terorisme versi pemerintah pasal 12 B ayat 4 dan pasal 46A
Dalam pasal 12 B ayat 4 dinyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia yang merupakan pelaku tindak pidana terorisme akan dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan paspor.
Pernyataan dalam pasal 12B tersebut lantas diperkuat dan dipertegas dalam pasal 46A yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia yang melakukan pelatihan militer, pelatiham paramiliter, pelatihan lainnya, dan atau ikut perang di luar negeri untuk tindak pidana terorisme, pejabat yang berwenang mencabut paspor dan menyatakan hilang kewarganegaraan republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang--undangan.
Imparsial menganggap sanksi pidana pencabutan kewarganegaraan bagi pelaku tindak pidana terorisme berpotensi melanggar hak asasi manusia tentang kewarganegaraan dan menjadikannya sebagai statelessness.
Lembaga tersebut menambahkan sanksi tersebut dianggap bertentangan dengan Konvensi Persatuan Bangsa--Bangsa tahun 1961 tentang pengurangan penduduk yang tidak memiliki kewarganegaraan (statelessness).
Meski sebuah negara memiliki kewenangan untuk mencabut dan menentapkan kehilangan hak kewarganegaraan namun dalam konvensi tersebut terdapat seperangkat aturam yang mencegah negara bertindak sewenang--wenang sehingga pencabutan hak warga negara harus bersifat terbatas, proposional dan melalui mekanisme pengadilan.
Lembaga yang bergerak dibidang monitoring HAM itu juga menilai bahwa sanksi pidana berupa pencabutan kewarganegaraan terhadap pelaku terorisme tidak akan menyelesaikan masalah dan dianggap berpotensi menimbulkan masalah baru.