Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pengawasan Persaingan Usaha atau KPPU mencium gelagat kecurangan yang dilakukan oleh pabrikan rumput laut di Sumba Timur, PT Algae Sumba Timur Lestari.
Pabrik produksi dan penadah rumput laut itu diduga melakukan praktek monopsoni. Perusahaan yang kerap disngkat dengan PT ATSIL ini mengusai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal komoditas rumput laut di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.
Kondisi ini diperparah dengan dugaan sang komisioner PT ATSIL yang menjadi dalang di balik semua ini. Adapun sang komisioner bernama Makson merupakan Kepala Dinas Kelauatan dan Perikanan Sumba Timur, NTT.
Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengatakan pihaknya menggelar Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara dengan agenda Penyampaian Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP) oleh Investigator KPPU.
Namun, sidang yang baru pertama kali digelar ini harus ditunda karena ketidakahadiran pihak terlapor yaitu PT ATSIL dan Saudara Makson.
“Sidang kami tunda minggu depan pada Jumat (11/3). Sidang akan kami gelar di NTT [Nusa Tenggara Timur]. Kami akan terbang ke sana,” katanya saat ditemui Bisnis di ruangannnya, Rabu (2/3/2016).
Dia menerangkan langkah tersebut dilakukan agar terlapor tidak mangkir dari penggilan KPPU. Pasalnya, tindakan pihak terlapor telah merugikan masyarakat dan pelaku usaha di Sumba Timur.
Praktek Monopsoni komoditas rumput laut, sebutnya, merupakan kasus pertama yang terjadi di Indonesia. Sebelumnya, KPPU belum pernah menggelar sidang dengan agenda perkara monopsoni rumput laut.
Dia menerangkan praktek ilegal yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Daerah ini telah mengeksploitasi petani rumput laut. Pasalnya petani dipaksa untuk menjual rumput laut ke PT ATSIL. Mereka tidak dapat menjual langsung ke pembeli atau mengekspornya sebelum ditadah oleh PT ATSIL.
Dengan kata lain, PT ATSIL merupakan pengepul dari semua stok rumput laut petani di Sumba Timur dan membelinya dengan harga yang sangat murah.
Ditemui terpisah, Investigator KPPU Helmi Nurjamil menyebutkan praktek monopsoni ini berjalan sejak 2014. Pasalnya. PT ATSIL merupakan pabrik baru di Sumba Timur yang berdiri pada 2012.
“Ini perusahaan baru tapi sudah bisa melakukan monopsoni. Ini aneh. Setelah ditelisik ada Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumba Timur di belakang layar,” ujarnya.
Sebagai catatan, PT ATSIL merupakan BUMD yang mana 98,4% saham dikuasai oleh pemerintah daerah. Sedangkan sisanya dimiliki oleh empat orang dari pihak swasta, salah satunya adaah Makson, kepala Dinas KKP. Makson memiliki saham sebesar 0,4%.
Kepala Dinas KKP, lanjut dia, berperan membuat kebijakan. Isi dari beleidnya yaitu bagi setiap pelaku usaha rumput laut di Sumba Timur yang melakukan transaksi jual beli ke luar daerah harus lewat satu pintu, yaitu PT ATSIL.
Hal ini dinilai mengahambat akses penjual petani rumput laut. Padahal sebelumnya, petani dapat memasarkan rumput laut ke beberapa daerah di Indonesia khususnya ke Semarang. Bahkan, petani juga mengekspor produknya hingga ke China.
Produk rumput laut Sumba Timur terkenal memiliki kualitas bagus untuk bahan baku industri makanan dan miinuman (mamin) dan industri kosmetik.
Sayangnya, setelah kebijakan dari Kepala Dinas tercetus, petani bahkan tidak mendapatkan informasi terkini perihal harga rumput laut di pasaran. Lantaran, harga ditentukan sepenuhnya oleh PT ATSIL.
Helmi menyebutkan terlapor diduga melanggar Pasal 18 (monopsoni) dan Pasal 24 (persekongkolan) UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Apabila piihak terlapor terbukti melakukan tindak penyelewengan, mereka terancam diberi sanksi administratif minimal Rp1 miliar dan maksimal Rp25 miliar. “Jika sifatnya sangat merugikan masyarakat maka yang paling buruk adalah pencabutan izin usaha,” ucapnya.
Dia menambahkan pihaknya belum dapat memerinci berapa besar kerugian materi yang dialami oleh petani rumput laut Sumba Timur. Dia perlu waktu untuk meneliti lebih lanjut ke NTT.