Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Alasan Kemenkes "Ngotot" Sponsorship Tak Melanggar Hukum

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersikukuh, pemberian sponsorship terhadap institusi kedokteran bukan tindakan yang melanggar hukum.
Dunia kedokteran./Istimewa
Dunia kedokteran./Istimewa

Kabar24.com, JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berkukuh, pemberian sponsorship terhadap institusi kedokteran bukan tindakan yang melanggar hukum. Mereka beralasan kerja sama saling menguntungkan (sponsorship) tersebut sangat berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan, terutama bagi seorang dokter.

"Perusahaan farmasi juga kan mempunyai kewajiban sosial melalui corporate sosial responsibility (CSR), sponshorship itu bagian dari CSR untuk dunia kedokteran," ujar Irjen Kemenkes Purwadi di Jakarta, Jumat (5/2/2016).

Dia juga menolak jika dikatakan proses pemberantasan gratifikasi yang sedang dirintis dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilakukan setengah hati. Indikasinya yakni masih diperbolehkannya praktik pemberian kerja sama saling menguntungkan (sponsorship) meski diwakilkan ke institusi.

Namun demikian, Purwadi tak bisa menjelaskan secara lebih detail terkait dasar hukum pemberian CSR tersebut. Dia hanya mengutip salah satu poin dalam kode etik profesi kedokteran yang mengatur tentang pemberian kerja sama saling menguntungkan tersebut.

Pendapat dari Purwadi tersebut bertentangan dengan penjelasan Pasal 12B Ayat 1 Undang-undang No 31/1999 Juncto Undang-Undang No 20 Tahun 2001. Dalam pasal tersebut disebutkan semua bentuk pemberian berupa barang, uang, komisi, diskon, hingga fasilitas-fasilitas lainnya termasuk dalam kategori gratifikasi.

Selain alasan tersebut, dia juga berkeras bahwa pemberian kerja sama saling menguntungkan tersebut juga terkait dengan beban finansial yang harus ditanggung seorang dokter.

"Dokter paling tidak harus mengumpulkan 250 poin dalam 5 tahun. Satu seminar mereka hanya mendapat 5 poin, berarti dalam 5 tahun mereka harus mengikuti 50 kali seminar. Sedangkan satu kali seminar mereka harus mengeluarkan uang sebesar Rp3 Juta," jelasnya.

Beban tersebut tidak didukung dengan kemampuan negara untuk membiayai pengambangan Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang kedokteran. Dia menambahkan, anggaran Kemenkes dari APBN senilai Rp63,481 triliun. Sekitar 10% dari anggaran tersebut yakni kurang lebih Rp6,05 triliun digunakan untuk pengambangan masyarakat. "Kalau digunakan untuk membiayai pengembangan SDM tersebut tentu APBN tidak cukup," kata dia.

Dengan dalih tersebut, KPK dan Kemenkes kemudian memutuskan untuk tetap melakukan kerja sama saling menguntungkan tersebut meski bukan antara farmasi dan individu tetapi dialihkan ke institusi kedokteran.

Namun demikian, keputusan tersebut juga tidak berdasar. Sebab, berdasarkan pernyataan dari Purwadi, dia belum menginvestigasi praktik gratifikas tersebut, serta survei penghasilan rata-rata dokter di Indonesia. "Belum pernah saya lalukan itu," katanya.

Sementara itu, Fadli Nasution ketua Perhimpunan Magister Hukum Indonesia Kamis (4/2) kemarin menyampaikan, salah satu fungsi KPK adalah pencegahan tindak pidana korupsi.

Adanya indikasi atau modus berupa pemberian hadiah, bonus atau sejumlah fasilitas kepada dokter dari perusahaan farmasi, agar menggunakan obat-obatannya merupakan bentuk gratifikasi terselubung yang perlu dicegah oleh KPK.

Dengan begitu agar tidak terjadi monopoli atau dominasi terhadap produk perusahaan farmasi tertentu. Jenis dan merek obat yang digunakan para dokter harus diserahkan pada mekanisme pasar yang bersaing secara sehat sesuai dengan kualitas dan kebutuhan pasien.

Sebelumnya, Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Kencana menganggap praktik kerja sama saling menguntungkan berupa pemberian dana seminar yang disalurkan melalui rumah sakit dan organisasi profesi bukanlah sesuatu yang dilarang.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper