Bisnis.com, JAKARTA--Barangkali kita masih ingat akan kisah pewayangan Sugriwa dan Subali dalam memperebutkan Dewi Tara. Kedua tokoh bersaudara yang sakti mandraguna tersebut saling sikut dan saling tikung dalam mendapatkan perempuan yang dianggap sebagai haknya tersebut.
Berbagai cara dan hal digunakan oleh Subali untuk mengalahkan Sugriwa, salah satunya dengan memanfaatkan ajian Pancasona pemberian dewa. Sebaliknya, Sugriwa memanfaatkan kedekatannya dengan keponakannya Anoman dan sahabatnya Ramayana, demi menaklukkan Subali.
Persaingan kedua tokoh yang dikutuk menjadi kera tersebut memang dikisahkan sangat seru dan panas. Bahkan, mereka seakan menghalalkan segala siasat dan intrik demi mendapatkan kekuasaan dan cinta dari Dewi Tara di Goa Kiskenda.
Dewasa ini, analogi kisah persaingan Sugriwa dan Subali dapat ditemukan dalam persaingan antara China dan Jepang. Keduanya terlibat persaingan dalam hal pemberian pinjaman dan ekspansi bisnis sektor infrastruktur di sejumlah negara di Asia, demi menunjukkan kedigdayaan dan kejayaannya di ranah Asia.
Layaknya kisah Sugriwa dan Subali, dua negara yang sama-sama memiliki ras Mongoloid ini, seolah berkompetisi ketat demi mendapatkan Dewi Tara yang berwujud perjanjian kerja sama membangun proyek kereta cepat.
Pada Sabtu, (12/12/2015) Perdana Menteri India Narenda Modi resmi mengumumkan kesepakatan dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, senilai US$15 miliar untuk membangun proyek kereta cepat Mumbai-Ahmedabad.
Negara Matahari Terbit ini berhasil menyisihkan China yang juga telah mengajukan penawaran yang sama kepada India. Menurut Mohdi, Jepang menawarkan pinjaman sekitar US$12 miliar dan 980 miliar rupee dengan tenor 50 tahun. Bunga yang ditawarkan pun hanya mencapai 0,1% dengan grace period 10 tahun.
Dalam kesepakatannya ini, Jepang berhak menggunakan kontraktor domestiknya atau patungan dengan kontraktor asal India untuk mengerjakan proyek ini. Namun, untuk pembuatan kereta dan seluruh komponennya, wajib dilakukan di Negeri Bollywood ini.
Keberhasilan Jepang ini, seakan menjadi aksi balas dendamnya kepada Negara Tirai Bambu yang berhasil meraih kesepakatan dengan Indonesia dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Pada Oktober lalu, Pemerintah Indonesia resmi memilih China sebagai pembangun proyek senilai US$5,5 miliar.
Kala itu, Indonesia yang menghendaki skema bussines to bussines rupanya tak bisa dilaksanakan oleh Jepang karena terbentur aturan perundangan di Negeri Sakura tersebut. Alhasil, China berhasil mengambil kesempatan. Beijing unggul karena tak memiliki aturan dan undang-undang yang melarang skema kerjasama B to B tersebut.
Di India, Jepang seakan lebih lincah. Kedekatan diplomatis dan personal antara kedua kepala negara tersebut menguntungkan Tokyo, hingga Mumbai pun tak segan menandatangani kesepakatan pembangunan proyek kereta cepat tersebut.
Modi mengamini hal tersebut, dia menyebutkan kedekatan antara kedua negara selama ini, telah membimbing kepercayaan negara dan pihaknya untuk memilih Jepang.
“Tidak ada teman yang lebih penting dan lebih hebat dari Jepang dalam mewujudkan mimpi ekonomi India,” katanya seperti dikutip Bloomberg, Sabtu (13/12).
Ekonomi Asia
Selain itu, baik India maupun Jepang seakan menunjukkan keinginan untuk bersatu dalam membendung ekspansi dan kekuatan China untuk menguasai ekonomi di kawasan Asia.
Profesor politik dan kebijakan luar negeri dari Universitas Adelaide Purnendra Jain mengatakan, kerja sama investasi ini merupakan petunjuk atas ketakutan India dan Jepang akan ekspansi China. “Ini juga sebuah langkah strategis India agar modernisasinya tidak terbendung oleh China,” katanya, Sabtu (13/12/2015).
Kedekatan diplomatis dan personal yang disertai kesamaan misi ini juga telah memupuskan berbagai prediksi, yang memperkirakan kemenangan kembali China atas Jepang di India. Pasalnya, nilai kontak perdagangan antara China dan India jauh lebih besar dibandingkan demgam Jepang dan India.
Berdasarkan data dari Departemen Perdagangan India, porsi perdagangan Jepang dengan India hanya mencapai 5% dari seluruh nilai perdagangan antara India dengan China, dan kurang dari seperempat dari seluruh kerjasama ekonomi antara India dengan China.
Fakta tersebut membuat para analis memperkirakan, di samping kurang memiliki kedekatan personal dan diplomatis yang baik, nilai pinjaman dan tawaran kerjasama China dinilai terlalu mahal bagi India.
Menanggapi hal tersebut, China memilih untuk menjawabnya secara diplomatis. "Semua negara memiliki hak untuk membuat keputusan sendiri tentang siapa mereka ingin bekerja sama," kata Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying, Sabtu (12/12/2015).
Tanggapan tersebut sama persis dengan apa yang pernah diutarakan oleh Duta Besar Jepang untuk Indonesia Yasuaki Tanizaki kepada wartawan di Indonesia beberapa waktu lalu.
Dia memilih untuk menjawab secara diplomatis, bahwa Indonesia berhak memilih negara manapun untuk bekerja sama. Dia mengutarakan hal tersebut tepat sesudah Jakarta mengumumkan kemenangan Beijing pada tender kereta cepat Jakarta-Bandung. []