Bisnis.com, PARIS--Seruan penghapusan subsidi untuk bahan bakar fosil mengemuka dalam pertemuan Konferensi Perubahan Iklim PBB di Paris, 30 November--11 Desember 2015.
Sekitar 40 pemerintahan di dunia, ratusan pelaku bisnis dan organisasi internasional menyerukan agar penghapusan subsidi bisa dipercepat guna menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 2 derajat Celcius hingga akhir abad ini.
Presiden RI Joko Widodo kemarin juga menyebutkan kebijakan pengalihan subsidi BBM ke sektor yang lebih produktif sebagai salah satu yang sudah dilakukan Indonesia membantu memerangi perubahan iklim.
Pada pembukaan Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (COP21), Perdana Menteri Selandia Baru John Key secara resmi mempresentasikan Komunike Reformasi Subsidi Bahan Bakar Fosil ke Christiana Figueres, Sekretaris Eksekutif Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).
Pemerintah di seluruh dunia menghabiskan lebih dari US$500 miliar sumber daya publik per tahun untuk menjaga harga minyak, gas dan batu bara di dalam negerinya.
Menurut Komunike, menghapus subsidi bahan bakar fosil akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 10% pada 2050. Hal ini juga membuat porsi sumber daya nasional lebih banyak untuk investasi modal sosial dan pembangunan fisik, seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.
"Reformasi subsidi BBM fosil adalah bagian yang hilang dari teka-teki perubahan iklim," kata John Key, Perdana Menteri Selandia Baru.
Dia mengatakan diperkirakan lebih dari sepertiga dari emisi karbon global, antara tahun 1980 dan 2010, didorong oleh subsidi bahan bakar fosil.
Oleh karena itu, eliminasi subsidi bahan bakar fosil itu akan menjadi salah satu dari tujuh usaha yang diperlukan untuk memastikan suhu global tidak naik lebih dari 2 ° C.
Sejumlah negara yang telah bergabung dalam Komunike ini diantaranya Kanada, Chili, Perancis, Jerman, Italia, Malaysia, Meksiko, Maroko, Peru, Belanda, Filipina, Samoa, Inggris, Amerika Serikat, Uganda dan uruguay.