Bisnis.com, YOGYAKARTA- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif, Bambang Widjojanto mengatakan penerapan sistem "Single Identity Number" atau "SIN" dalam E-KTP perlu kembali menjadi kajian bersama dalam mencegah tindak pidana korupsi.
"Dengan "Single Identity Number (SIN) semua data diri akan masuk sehingga tidak akan ada lagi koruptor yang bisa memalsukan identitas untuk melancarkan aksinya," kata Bambang Widjojanto di Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta, Senin (16/11).
SIN adalah gagasan lama mantan Ketua BPK Hadi Poernomo yang digulirkan sejak 2001, saat menjabat sebagai Dirjen Pajak. Gagasan ini pernah dipresentasikan Hadi di hadapan rapat kabinet, hingga Presiden Megawati ketika itu meminta Hadi memimpin proyek SIN, bersama Dirjen Kependudukan dan Dirjen Hukum & HAM.
SIN sudah ada dalam renstra Ditjen Pajak sejak 2001 yang dibuat Hadi, hingga kemudian 'dihilangkan' oleh Dirjen Pajak Darmin Nasution dan Menkeu Sri Mulyani pada renstra Diten Pajak berikutnya, yaitu pada 2008. Tidak ada penjelasan resmi kenapa gagasan SIN itu dihilangkan.
Tak patah arang, gagasan ini diperluas lagi oleh Hadi saat memimpin BPK pada 2009, dengan menggulirkan e-audit, yang berisi data keuangan publik (pemerintah). Dalam satu paparannya, Hadi menggagas penyatuan data SIN (privat) dan data e-audit (publik). Sayang, baik SIN maupun e-audit hingga kini tak juga berkembang.
"Kalau data SIN dan data e-audit ini menyatu, bukan cuma aspek penerimaan negara saja yang diuntungkan, karena ini akan menjadi alat monitoring yang mampu mendeteksi secara dini terjadinya korupsi," kata Hadi.
Pada 2014, Hadi di-tersangka-kan KPK atas dugaan kasus pajak BCA yang terjadi 10 tahun sebelumnya, yaitu pada 2004. Alat bukti yang dipakai KPK untuk menjerat Hadi adalah investigasi Inspektorat Bidang Investigasi Depkeu, yang penyelidikannya dimulai saat Hadi mengorkestrasikan audit Bank Century, awal 2010.
Namun, dalam praperadilan penersangkaan Hadi pada 2015, terungkap, KPK, yang wakil ketuanya waktu itu Bambang WIdjojanto, ternyata belum memiliki perhitungan yang nyata dan pasti atas kerugian negara yang disangkakan ke Hadi. Audit IBI ternyata juga tidak memiliki perhitungan atas kerugian negara yang nyata dan pasti.
Di persidangan, KPK menyatakan perhitungan kerugian negara itu, yang dimintakan KPK ke BPKP setelah menersangkakan Hadi, ternyata masih dalam tahap finalisasi, alias belum selesai. Hakim praperadilan akhirnya menyatakan penersangkaan Hadi oleh KPK tidak sah.
Efektivitas E-KTP
Menurut Bambang, adanya kasus korupsi proyek pengadaan E-KTP yang saat ini sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebaiknya sekaligus disikapi sebagai momentum untuk menguji kembali efektivitas E-KTP.
"Dengan adanya kasus ini, maka perlu menjadi refleksi bersama apakah itu (proyek E-KTP) perlu dilanjutkan atau tidak," katanya seperti dikutip Antara.
Menurut Bambang, E-KTP yang diberlakukan hingga saat ini belum komprehensif memuat data diri masyarakat sehingga masih bisa dimanfaatkan oleh para koruptor untuk memalsukan identitas. "Karena sekarang masih bisa identitas sesorang di E-KTP, dengan di SIM, serta identitas di Bank tidak sama," kata dia.
Sementara itu, ia mengatakan, dengan penerapan sistem SIN, maka data yang ada dalam E-KTP bukan hanya sekadar data kependudukan, melainkan mengintegrasikan data dan identitas lainnya, seperti data pajak, PPh, serta PBB, rekening Bank, serta SIM.
Dengan begitu tidak ada lagi yang bisa membuat identitas palsu, sebab semua data akan terintegrasi dalam E-KTP, sehingga profil setiap orang akan terungkap dalam satu kartu. "Hal itu penting dipertimbangan, mengingat saat ini koruptor memiliki kecenderungan memakai strategi pemalsuan identitas untuk melancarkan aksinya."
Selain itu, Bambang mengatakan, dengan memastikan konsep sistem SIN diterapkan dalam E-KTP, setidaknya masyarakat tidak akan merugi meski telah membayar terlalu mahal melalui anggaran negara senilai Rp5,9 triliun.