Bisnis.com, MANADO--Kementerian Perindustrian melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Utara (Sulut) terus mengoptimalkan pengawasan dan penindakan terhadap produk pakaian bayi dan mainan anak.
Pasalnya, berdasarkan temuan Disperindag Sulut, masih banyak ditemukan produk pakaian bayi dan mainan anak. Padahal, pemberlakuan standar nasional Indonesia (SNI) mainan anak mulai berlaku pada 1 Mei 2014.
“Aturannya memang seperti itu, tetapi pengawasan dan penindakan itu tidak mudah karena membutuhkan tenaga tersendiri, sedangkan tenaga pengawas seperti itu membutuhkan keahlian khusus,” kata Kepala Seksi Bina Sarana Usaha Disperindag Sulut Henry W.M di Manado, Jumat (30/10).
Dirinya mengakui tenaga-tenaga ahli pengawasan produk SNI masih terbatas di pusat, sedangkan di wilayah provinsi atau kabupaten/kota masih belum ada.
Untuk itu, Henry mengungkapkan pemerintah masih memaksimalkan sosialisasi intensif kepada para pelaku produsen pakaian bayi dan mainan anak. Urgensi pemberlakuan SNI pada produk-produk tersebut sangat dibutuhkan menjelang momen Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada akhir tahun ini.
“Sosialisasi di Sulut lebih menyasar ke supermarket, pemilik toko yang menjual produk-produk bayi dan anak, serta institusi pendidikan misalnya PAUD,” jelasnya.
Menurutnya, kawasan Sulut lebih banyak mengimpor produk-produk pakaian bayi dan mainan anak dari luar daerah, bahkan luar negeri sehingga tidak banyak sentra pabrikan yang memproduksi produk-produk itu.
“Mungkin, ada produsen yang kecil-kecil misalnya berskala usaha mikro, dan kecil [UMK]. Usaha-usaha seperti ini yang harus kita dorong produknya bisa memiliki SNI sehingga mereka bisa bersaing dengan produk dari produsen berskala besar,” ungkapnya.
Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian telah menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian No. 55/M-IND/PER/11/2013. Aturan itu merupakan perubahan dari Peraturan Menteri Perindustrian No. 24/M-Ind/PER/4/2013 tentang Pemberlakuan SNI Mainan Secara Wajib.
Dalam hal ini, pemerintah menunjuk Badan Standardisasi Nasional (BSN) sebagai lembaga pemerintah yang mengkoordinasikan kegiatan di bidang standarisasi secara nasional.
“Bagi para pelaku UMK, pendaftaran produknya agar mendapatkan sertifikat SNI memang membutuhkan waktu dan biaya tidak murah. Tetapi pemerintah akan memfasilitasi hal itu,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Mainan Indonesia (AMI) Sutjiadi Lukas menjelaskan prospek industri mainan pada tahun ini cukup tertekan. Dari sisi impor, ada penurunan yang cukup besar dari tahun-tahun sebelumnya.
“Volume mainan bisa mencapai 2.500 kontainer dalam sebulan, kondisinya turun drastis pada tahun ini dengan hanya menyisakan 700 kontainer per bulan,” katanya.