Kabar24.com, JAKARTA - Qatar menghadapi tuduhan melakukan perbudakan modern di saat mereka bersiap-siap menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, demikian dikutip Antara, Jumat (30/10/2015).
Sebelumnya, Qatar telah mengumumkan rencana sederhana untuk mereformasi aturan perburuhan bagi pekerja asing. Namun, Konfederasi Serikat Perdagangan Internasional (ITUC) pada Rabu menyatakan negara tuan rumah Piala Dunia 2022 itu masih terlibat dalam perbudakan modern.
Pekerja asing, yang telah mencapai 90 persen dari total populasi di Qatar, masih membutuhkan izin untuk meninggalkan negara tersebut, dengan mengharap belas kasihan dari majikan mereka.
"Janji reformasi telah digunakan sebagai tabir untuk mengundang perusahaan-perusahaan dan pemerintah negara lain untuk membangun bisnis di Qatar dan negara-negara Teluk lainnya seiring dibutuhkannya pembangunan infrastuktur besar-besaran sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022," ujar Sekretaris Umum ITUC Sharan Burrow dalam sebuah pernyataan.
Menurut dia, tragedi 1,7 juta pekerja pendatang yang terjebak di Qatar menunjukkan adanya perbudakan modern.
Peraturan perundang-undangan yang ditandatangani oleh Emir Qatar, Tamim bin Hamad Al-Thani pada Selasa (27/10), memberi keleluasaan pada pekerja asing untuk meminta bantuan pemerintah jika majikan mereka tidak menyetujui kepergian mereka, lapor sebuah media lokal.
Qatar merupakan salah satu dari segelintir negara, termasuk Arab Saudi dan Korea Utara, yang mengharuskan para pekerja memperoleh persetujuan dari majikan atau negara sebelum diizinkan bepergian.
Bisnis di Qatar semakin dipengaruhi untuk mencegah perubahan mendasar yang sebelumnya dikenal sebagai sistem kerja "kafala", untuk mengatasi kekhawatiran menurunnya produktivitas dan seringnya pekerja berganti pekerjaan.
Perubahan tersebut tidak akan berpengaruh sampai tahun depan, kata Menteri Tenaga Kerja Qatar.
Melalui reformasi tersebut, pekerja asing yang kontrak kerjanya hampir habis dapat berganti pekerjaan tanpa izin perusahaan yang telah lima tahun mempekerjakan mereka, namun masih tetap membutuhkan izin dari pemerintah.
Selain itu, pekerja asing juga dilarang membentuk serikat di Qatar.
Kementerian Tenaga Kerja Qatar belum bisa dimintai keterangan setelah penutupan bisnis pada Rabu (27/10).
Negara tersebut berencana menghabiskan 200 miliar dolar AS untuk infrastruktur terkait Piala Dunia dan telah mendatangkan ratusan ribu pekerja konstruksi untuk proyek-proyek pembangunan.
Pejabat Amnesti Internasional dan Pemerhati HAM (HRW) menolak UU reformasi tersebut. Salah satu perwakilan HRW di Timur Tengah menulis di akun Twitter-nya bahwa reformasi Qatar menunjukkan sebuah pesan lantang dan jelas yang berbunyi: "kami tidak peduli terhadap para pekerja".