Kabar24.com, JAKARTA —Mahkamah Kehormatan Dewan atau MKD, salah satu alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, belakangan cukup menjadi primadona media massa.
Popularitas MKD seiring dengan munculnya sejumlah kasus terkait anggota DPR mulai kasus pribadi hingga masalah publik. MKD rupanya menjadi salah satu etalase soal "pelanggaran" atau ketidakpatutan sikap, pernyataan atau perilaku anggota dewan.
Tengok misalnya, MKD ternyata telah memutuskan untuk memberikan sanksi atas pelanggaran etik ringan kepada anggota Fraksi PKB Krisna Mukti atas kasus penelantaran mantan istri.
“Krisna sudah diberi sanksi berupa teguran lisan,” kata Surahman Hidayat, Ketua MKD, Minggu (27/9/2015).
Kasus pelanggaran etik ringan lainnya adalah aksi merokok di dalam ruang rapat yang dilakukan Anang Hermansyah.
Terkait kasus Anang, MKD telah memberikan teguran lisan kepada yang bersangkutan agar tidak mengulangi perbuatannya.
Namun ada beberapa kasus atau laporan pelanggaran yang masih belum diputuskan MKD.
Surahman misalnya menolak berkomentar saat ditanya tentang laporan dugaan penggunaan gelar palsu yang melibatkan anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura Frans Agung Mula Putra.
Kasus lain yang mestinya diselesaikan MKD adalah dugaan pelanggaran penggunaan kop surat lembaga DPR untuk kepentingan pribadi yang melibatkan politisi dari Fraksi PDIP Henry Yosodiningrat, serta dugaan penyalahgunaan wewenang lantaran tidak membayar biaya jahit yang melibatkan anggota Fraksi PPP Muchlisin.
Selain itu, kemarin, MKD juga batal menyidangkan Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon atas laporan dugaan pelanggaran kode etik saat bertemu dengan miliarder sekaligus kandidat calon presiden AS Donald Trump disela kunjungannya pada 3 September 2015 dengan fasilitas bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo.
“Tadi sidang perdana untuk Setya Novanto dan Fadli Zon batal. Tapi, kami akan undang lagi setelah keduanya pulang berhaji dari Arab Saudi. Mungkin seminggu lagi. Saya yakin mereka bakal hadir,” kata Surahman.
Selain itu, MKD sepertinya harus bersiap-siap menangani laporan pelanggaran Ketua MPR Zulkifli Hassan.
Seperti diketahui, Ketua MPR Zulkifli Hasan dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan oleh Kaukus Indonesia Hebat terkait dugaan pelanggaran etik saat berkunjung ke China pada 16-19 September 2015.
Sejauh ini, Zul --begitu Ketua MPR disapa-- enggan menanggapi pelaporan dirinya ke MKD tersebut.
Zul beranggapan, laporan tersebut sama sekali tidak menyentuh substansi apapun tentang pertemuannya dengan sejumlah pengusaha China di sela kunjungannya bersama rombongan DPR untuk menghadiri undangan parlemen China.
“Orang sudah sampai luar angkasa dan membangun kapal nuklir, kok kita masih dituduh melanggar etik hanya karena kunjungan. Saya enggak mau tanggapi itu. Sebaiknya kita berpikir bagaimana Indonesia beberapa tahun ke depan saja,” kata Zul di Kompleks Gedung Parlemen, Senin (28/9).
Menurut Zul, pertemuan dengan pengusaha itu jangan diartikan sebagai kesalahan yang fatal.
“MPR/DPR mengundang mereka [pengusaha China] untuk berinvestasi di Tanah Air. Itu tidak salah karena kami bisa menggunakan fungsi pengawasan jika investasi mereka terhambat,” kata Zul yang juga menjabat sebagai Ketua Umum PAN.
Pelaporan Zul ke MKD adalah buntut dari keikutsertaan Zulkifli dalam forum China Minsheng Investment Corp dan Maspion Group yang dianggap melenceng oleh Kaukus Indonesia Hebat.
Syarif Hidayatullah, Presidium Kaukus Indonesia Hebat mengatakan, agenda tersebut sudah melenceng dari tugas dan fungsi MPR.
“Zul telah melanggar kode etik sebagai Ketua MPR. Zul berlaku seperti eksekutif,” katanya.
Syarifuddin Sudding anggota Fraksi Partai Hanura yang ikut dalam rombongan ke China juga menolak jika kunjungan tersebut dianggap menyalahi aturan.
“Saya tidak melihat pertemuan itu melanggar etika. Tapi kan telanjur dilaporkan, ya biar MKD saja yang menilai,” ujar Sudding.
Selain Zul dan Sudding, rombongan tersebut juga membawa serta Sekretaris Fraksi PKS Sumanjaya, perwakilan Fraksi PDIP Ahmad Basarah, perwakilan Fraksi Golkar Rambe Kamarulzaman, serta Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid.
Kini kita masih menunggu apakah dorongan dari Kaukus Indonesia Hebat akan membuat MKD menempatkan Zul senasib dengan Setya Novanto dan Fadli Zon yang harus mempertanggungjawabkan pertemuannya dengan Donald Trump yang dinilai melanggar etika atau justru sebaliknya.
Sementara itu, MKD pun masih harus mengurusi perkara pimpinan DPR lainnya, yakni terkait pernyataan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dalam sebuah acara talk show di televisi swasta. Saat itu, Fahri sempat mengomentar soal anggota DPR yang rada-rada beloon namun bisa terpilih masuk DPR karena dipilih rakyat.
Akibat pernyataannya itu, Fahri dilaporkan oleh kalangan DPR sendiri ke Mahkamah Kehormatan Dewan.
Jika merujuk kepada kamus, kata "beloon" seperti yang dilontarkna Fahri itu artinya sama dengan: bodoh, tolol, atau dungu.
Senin depan (5/10) MKD dijadwalkan memeriksa Fahri Hamzah.