Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Singapura Di ambang Krisis Pekerja

Dalam 5 tahun ke depan, jumlah warga Singapura yang pensiun akan melebihi warga yang baru bekerja.
Singapura/Reuters
Singapura/Reuters

Kabar24.com, SINGAPURA--Dalam 5 tahun ke depan, jumlah warga Singapura yang pensiun akan melebihi warga yang baru bekerja.

Pada 2025 populasi di negeri jiran itu akan berkontrkasi sehingga mengakibatkan perekrutan tenaga kerja semakin sulit mengakibatkan aliran keluar investor sehingga perekonomian Singapura bakal kurang berkilau.

Untuk menghindari krisis demograsi, sesuai dengan buku putih Pemerintah Singapura yang disusun dua tahun silam, imigrasi nampaknya menjadi solusi mudah untuk menyelesaikan persoalan ini.

Akan tetapi kebijakan ini bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah yang memangkas kuota tenaga kerja asing di samping kekhawatiran warga Singapura bahwa mereka bakal tersisih dari pasar tenaga kerja.

Pada Senin (10/8) Singapura akan merayakan setengah aban kemerdekaannya, dan keberhasilannya melakukan lompatan dari negara ketiga menjadi negara utama.

Akan tetapi kebanggaan itu menjadi tidak penting dalam tahun-tahun mendatang.

Pemerintah mengharapkan pertumbuhan ekonomi ekonomi akan berkisar 8,5% dalam 50 tahun terakhir tetapi jumlah tenaga kerja yang menyusut akan menghalangi rencana itu.

Pembatasan kuota tenaga kerja asing yang dilakukan di Singapura rupanya memperburuk krisis buruh di sana, khususnya di sektor manufaktur, jasa, dan sektor layanan konstruksi di negara yang identik dengan kebijakan ramah terhadap bisnis itu.

Kebijakan pembatasan itu mengurangi arus masuk pekerja asing sejumlah 26.000 orang pada 2014, termasuk para pembantu rumah tangga. Jumlah itu sepertiga dari total tenaga kerja asing di Singapura yang bekerja pada 2011.

“Apakah ini menyakitkan, ya ini menyakitkan. Karena selama 30 tahun, bisnis di Singapura kencanduan aliran tenaga kerja asing dengan bayaran murah yang tiada berakhir,” ujar Victor Mills, pimpinan Kamar Dagang Singapura kepada Reuters, Jumat (7/8).

Selama bertahun-tahun, perindustrian di Singapura telah bertransformasi menjadi menjadi industri manufaktur elektronik besar serta pusat perdagangan minyak global dengan jumlah permintaan tenaga kerja asing yang meningkat dari tahun-tahun serta didorong oleh aturan imigrasi yang longgar.

Negara pulau seluas 50 kilometer atau 12 mil dari barat ke timur itu telah menyiapkan rencana ekonominya dengan meningkatkan produktivitas tenaga kerjanya. Perdana Menteri Lee Hsien Loong pada awal Agustus mengatakan tidak ada jalan lain selain menata tenaga imigran dan tenaga kerja asing.

“Jika kita tidak memiliki pekerja asing, perekonomian kita akan terkena imbas negatif, begitu pula hidup kita. Jika kita memiliki banyak tenaga kerja asing, perkeonomian akan tumbuh positif tapi kami memiliki tekanan sosial lain pula. Pemerintah akan melakukan penilaian terkait tenaga kerja asing dalam beberapa tahun,” ucapnya.

Pembatasan imigran di Singapura dilakukan setelah pemilihan umum 2011 lalu. Saat itu, partai berkuasa Singapura, Partai Aksi Rakyat mengalami penurunan jumlah pemilih karena adanya kecemasan pada rakyat Singapura atas ketimpangan pendapatan, biaya perumahan yang tinggi, serta sektor transprtasi umum yang padat akibat kedatangan imigran.

Apakah pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah setelah pemilu 2011 itu memuaskan para pemilih, akan diketahui pada saat pemilihan umum pada awal September 2015 ini.

Chua Hak Bin, Ekonom Bank of America Merrill Lynch mengatakan pembatasan jumlah tenaga kerja asing di Singapura mencapai suatu keadaan yang disebut sbegaai “pembunuhan besar-besaran”.

“Ada beberapa risiko terhadap bisnis yang tidak meningkatkan produktivitas dan memilih untuk tidak memerluas investasi karena tidak ada penambahan jumlah pekerja yang signifikan. Saya ingatkan bahwa investasi swasta di Singapura sudah berkontraksi selama 1,5 tahun ,” ujarnya.

Menteri Keuangan Singapura, Tharman Shanmugaratnam mengatakan pemeirntah mengharapkan pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 2% hingga 4% hingga 2020, atau rata-rata tumbuh 3% yang mencerminkan posisi normal baru dari perekonomian dunia.

“Akan tetapi mencapai rata-rata pertumbuhan 3% merupakan tantangan yang berat di mana jumlah tenaga kerja kami melambat di tahun-tahun mendatang. Perlambatan akan terasa sangat signifikan,” ungkapnya.

Keppel Corp Ltd, konglomerasi yang berasis di Singapura, salah satu perusahaan konstruksi pengeboran lepas pantai terbesar di dunia menyatakan telah melakukan peningkatan investasi di luar negeri dengan maksud meningkatkan kapabilitas produksi karena tidak mendapatkan tenaga kerja di dalam negeri.

“Beberapa pekerjaan yang tidak bisa kami lakukan di Singapura akan dilakukan di luar negeri,” ujar CEO Keppel Corp Ltd Loh Chin Hua.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Rustam Agus
Sumber : Reuters
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper