Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pasal Penghinaan Presiden, Jimly: Jangan Kembali ke Zaman Feodal

Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie menganggap bahwa pasal Penghinaan Presiden tidak dibutuhkan lagi karena dalam praktiknya menghambat demokrasi dan dapat disalahgunakan oleh penegak hukum.
Profesor Jimly Asshiddiqie. /Antara
Profesor Jimly Asshiddiqie. /Antara

Kabar24.com, JAKARTA--Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie menganggap bahwa pasal Penghinaan Presiden tidak dibutuhkan lagi karena dalam praktiknya menghambat demokrasi dan dapat disalahgunakan oleh penegak hukum.

"Dalam praktiknya, penegak hukum lebih agresif dari presidennya. Presiden tidak merasa terhina, polisinya yang aktif menangkapi orang," katanya ketika ditemui di Gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (5/8/2015).

Jimly juga menceritakan bahwa pasal penghinaan dulu sudah dinyatakan inkonstitusional oleh MK pada 2006 melalui perdebatan panjang yang melibatkan banyak ahli.

Dia mengatakan MK sudah membuat keputusan bahwa pasal Penghinaan Presiden sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan peradaban demokrasi Indonesia berdasarkan UUD 1945. Keputusan untuk tidak memberlakukan pasal tersebut menuai pujian dari Dewan HAM PBB lewat "Human Right Report" karena dianggap sangat maju.

"Karena beberapa negara di Eropa masih menggunakan pasal tersebut, seperti di Belgia dan Belanda. Tapi sudah satu abad pasal tersebut tidak pernah dipakai karena memang tidak relevan lagi," kata Jimly.

Jika ditelusuri sejarahnya, pasal penghinaan simbol negara tersebut terkesan masih sangat feodal karena dahulu raja dan ratu dianggap sebagai simbol negara, dan teori tentang simbol negara semacam itu merupakan teori lama.

Di Indonesia, simbol negara berarti lambang negara seperti diatur dalam UUD 1945 pasal 36A yang menyebutkan bahwa lambang negara ialah Garuda Pancasila, dan bukan presiden.

"Banyak orang salah mengerti bahwa dengan dibatalkannya pasal itu berarti Presiden boleh dihina, itu salah. Penghinaan itu tindak pidana sehingga tidak diperbolehkan," ucap Jimly yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP).

Pemerintah mengajukan 786 Pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke DPR RI untuk disetujui menjadi UU KUHP. Dari ratusan pasal yang diajukan itu, pemerintah menyelipkan satu Pasal mengenai Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal tersebut tercantum dalam Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP yang berbunyi: "setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV".

Jimly mengatakan bahwa dirinya pada prinsipnya sudah tidak bisa lagi ikut campur urusan draf RUU KUHP karena itu sudah termasuk dalam ranah politik hukum sehingga harus diserahkan kepada pemerintah dan DPR.

Namun dia menyayangkan bahwa sesudah pasal itu dinyatakan tidak berlaku, ada kelompok pakar ilmu hukum yang memasukkannya di dalam draf RUU KUHP.

"Draf sudah disusun sejak tahun yang lalu. Jadi jangan mempersalahkan pemerintah yang sekarang seakan-akan yang mengajukan perubahan ini," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Newswire
Sumber : Antara
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper