Bisnis.com, JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan dengan mengembalikan pasal penghinaan presiden ke dalam revisi KUHP, hanya akan membuat Indonesia mengalami kemunduran budaya. Artinya, presiden sebagai kepala negara kembali menjadi simbol tertinggi.
Menurut Jimly, penerapan pasal itu hanya ada di suatu bangsa yang menerapkan sistem feodalisme. "Dalam sistem feodal, yang gampang tersinggung itu bukan presidennnya tetapi polisi. Itulah yang menghambat kemajuan berdemokrasi dan berpendapat. Polisi sebagai penegak hukum kadang lebih tersinggung daripada presidennya," ujarnya di Istana Negara, Selasa, (4/8/2015).
"Ada problem kultur feodal di kalangan intelektual dan politikus kita. Semakin seseorang mencapai tingkatan tertinggi, maka kritik akan terus kencang," ujarnya.
Namun Jimly menilai usul memasukkan pasal penghinaan presiden dalam KUHP itu sebenarnya bukan inisiatif dari Presiden Joko Widodo. "Ini bukan dari yang sekarang, tapi kemarin," ujarnya.
Pemerintah menyodorkan 786 Pasal RUU KUHP ke DPR untuk dimasukkan ke KUHP. Salah satu pasal adalah tentang penghinaan presiden.
Pasal itu sebelumnya telah diajukan peninjauan kembali oleh pengacara Eggy Sudjana pada 2006. Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Jimly saat itu mengabulkan dan mencabut pasal itu karena dianggap tidak memiliki batasan yang jelas.
Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak kategori IV."
Adapun pada Pasal 264 disebutkan tentang ruang lingkup penghinaan Presiden. Bunyi pasal itu adalah "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum, akan dipidana paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV."