Bisnis.com, DENPASAR - Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak menyatakan tren kenaikan angka kekerasan anak di Bali mencapai 50% per tahun sejak 2012. Untuk wilayah Denpasar saja, sidang kekerasan anak bisa berjalan untuk tiga kasus berbeda dalam sehari.
"Kecenderungannya adalah sidang kekerasan seksual," kata Siti Sapuah, aktivis Pusat Pelayanan untuk Bali, kepada Tempo saat dihubungi, Sabtu (13/6/2015). Siti enggan menyebut angka pasti kekerasan anak saat ini karena tak sedang memegang data.
Menurut Siti, ada tiga hal yang membuat angka kekerasan anak di Bali tinggi. Pertama, tipisnya empati masyarakat sehingga mereka tak melaporkan peristiwa kekerasan yang diketahui.
Kedua, masyarakat Bali masih menganggap kekerasan yang terjadi pada anak sebagai aib. Akibatnya, banyak orang tua korban yang menutupi peristiwa kekerasan itu.
Rendahnya perhatian polisi menjadi pelengkap penyebab tingginya angka kekerasan anak di Bali. "Keluarga korban yang melapor cuma mendapat malu dan lelah, tak sebanding dengan hukuman pelaku yang tidak terlalu berat," kata Siti.
Siti menambahkan, meskipun angka kekerasan anak di Bali tinggi, tingkat pelaporan oleh masyarakat justru rendah, terutama pelaporan dari golongan masyarakat miskin. "Orang biasa, apalagi yang ekonomi minim, dianggap tak berdaya."
Siti yakin kondisi itu diperburuk oleh rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum. "Masyarakat yang sudah paham bahayanya kekerasan anak, justru belum tentu percaya," katanya.
Kekerasan anak di Bali mencuat setelah Angeline, 8 tahun, ditemukan tewas dalam keadaan terkubur di belakang rumah ibu angkatnya, Margriet Christina Megawe, pada Rabu, (10/6/2015).
Hampir sebulan sebelumnya, melalui laman Facebook, kakak angkat Angeline, Christina dan Ivon, mengumumkan telah kehilangan bocah itu.