Kabar24.com, JAKARTA — Pemerintah perlu menguatkan aktivitas kontraintelijen di Papua menyusul kebijakan Presiden Joko Widodo yang membuka keran peliputan bagi jurnalis asing di wilayah tersebut.
Ridlwan Habib, pengamat Intelijen Universitas Indonesia (UI), mengatakan penguatan itu perlu dilakukan karena jurnalis asing sudah leluasa meliput di Papua.
“Pasalnya, profesi jurnalis sering dijadikan kedok bagi intelijen asing untuk menghasut warga Papua,” katanya saat dihubungi, Senin (11/5).
Menurutnya, penambahan agen kontraintelijen itu untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman seperti OPM. “Dalam hal ini, pemerintah tidak bisa menafikan masih eksisnya OPM di Papua.”
Jokowi, paparnya, harus mempunyai strategi lain setelah mengeluarkan kebijakan itu. “Ide yang membuka keran bagi jurnalis asing yang sangat humanis itu jangan sampai blunder. Aparat kontraintelijen kita harus benar-benar siap dan jangan sampai kecolongan,” tegas Ridlwan.
Jika lengah, jelasnya, bukan tidak mungkin memunculkan dampak negatif bagi NKRI. Pasalnya, intelijen asing yang berkedok jurnalis bisa melakukan permainan opini dan propaganda soal Papua yang merugikan NKRI.
Intelijen asing berjubah jurnalis itu a.l. bisa leluasa menyuplai informasi, membawa data dari dan ke luar Papua, termasuk memasukkan dukungan-dukungan bagi gerakan OPM.
Dukungan itu bisa berupa dana, akses internasional, suplai informasi dan sebagainya.
“Dengan demikian, upaya melindungi Papua sebagai bagian tak terpisahkan dari NKRI yang sudah bertahun-tahun dilakukan bisa sia-sia,” ujarnya.
Kebijakan Jokowi itu dinilai Ridlwan sangat berbeda dengan kebijakan presiden sebelumnya.
“Saat itu, kebijakan peliputan di Papua bagi jurnalis asing sangat ketat. Saat itu, jurnalis asing harus mendapatkan persetujuan dari badan yang disebut Clearing House yang terdiri dari BIN, Bais, Polri, Kemenkopolhukam, Kementerian Luar Negeri dan Ditjen Imigrasi,” ujar Ridlwan.