Kabar24.com, JAKARTA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menyerukan kepada perusahaan media untuk memperhatikan nasib para jurnalis perempuan.
Hari Kartini, 21 April, menjadi momen untuk melihat nasib jurnalis perempuan di industri media.
Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim menyatakan jurnalis perempuan kerap mengalami diskriminasi di kantor redaksi tempat mereka bekerja dan saat meliput di lapangan.
“AJI Jakarta mendesak perusahaan media memenuhi hak-hak jurnalis perempuan dan tidak memperlakukan jurnalis perempuan secara diskriminatif,” katanya dalam rilisnya, Selasa (21/4/2015).
Hasil penelitian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia di tujuh kota pada 2011 dengan 135 responden jurnalis perempuan menunjukkan sebanyak 6,59 jurnalis mengalami diskriminasi dan 14,81% mengalami pelecehan ketika bertugas. Tak jarang narasumber mengajak berkencan jurnalis perempuan.
Hanya 6% jurnalis perempuan yang menduduki posisi sebagai redaktur atau pengambil keputusan di redaksi.
Akibatnya, pengambilan kebijakan di redaksi didominasi jurnalis laki-laki. Sebanyak 40% jurnalis perempuan berstatus sebagai pekerja kontrak.
Penelitian tersebut juga menunjukkan jurnalis perempuan belum banyak yang mengambil jatah untuk cuti haid karena kurang begitu populernya hak cuti haid ini.
Para perempuan jurnalis yang sedang menyusui juga belum diberikan waktu khusus untuk menyusui.
Masalah lainnya, 51,8% jurnalis perempuan belum mendapatkan fasilitas peliputan di malam hari.
Diskriminasi terhadap perempuan dalam pemberitaan juga sering kali terjadi.
Lebih lanjut dia menyebut media online jugakurang memiliki perspektif perempuan atau korban ketika memberitakan kasus kekerasan, pembunuhan, dan pemerkosaan yang menimpa perempuan.
”Media berkali-kali mengeksplotasi hal-hal terkait dengan perempuan yang menjadi korban pemerkosaan. Media menayangkan foto korban dan menyebutkan identitas lengkap korban perempuan,” katanya.
AjI juga mendesak agar media mematuhi kode etik jurnalistik saat memberitakan kasus-kasus kekerasan, pembunuhan, dan pemerkosaan yang menimpa perempuan.
Kode Etik Jurnalis menyatakan jurnalis Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila (Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik).
Jurnalis juga tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar jenis kelamin (Pasal 8). Jurnalis juga tidak membuat berita sadis dan cabul (Pasal 4).