Bisnis.com, JAKARTA—Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) membatalkan rencananya untu merevisi syarat pemberian remisi dalam Peraturan Pemerintah No. 99/2012.
Johan Budi, Pelaksana tugas Wakil Ketua KPK, mengatakan rencana revisi itu akan menjadi langkah mundur dalam penegakan hukum di dalam negeri. Pasalnya, revisi itu justru memperlonggar syarat pemberian remisi terhadap pelaku kejahatan luar biasa.
“Ini bertabrakan dengan semangat pemberantasan korupsi, dimana tujuan utamanya memberikan efek jera,” katanya di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (16/3/2015).
Johan menuturkan hingga kini KPK belum diundang oleh pemerintah untuk membahas lebih lanjut rencana revisi tersebut.
Seperti diketahui, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly menggulirkan wacana untuk merevisi syarat pemberian remisi dalam beleid tersebut karena bertentangan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Aturan itu menyatakan setiap narapidana berhak atas remisi dan pembebasan bersyarat.
Yasonna menegaskan pemberian remisi terhadap narapidana kasus korupsi, terorisme, dan narkotika merupakan hak yang diatur Undang-Undang namun didiskriminasi lewat Peraturan Pemerintah.
Dalam Pasal 14 Undang-Undang No.12/1995 tentang Pemasyarakatan, seorang narapidana berhak untuk mendapatkan pengurangan masa pidana atau remisi. Namun hak tersebut didiskriminasi pemerintah melalui PP No.99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Pasal 34A PP itu juga menyebutkan remisi diberikan bersyarat kepada narapidana kasus korupsi, terorisme, dan narkotika. Khusus bagi napi kasus terorisme, remisi diberikan jika sudah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme.