Bisnis.com, JAKARTA - Persidangan kasus sengketa antara PT Pertamina Hulu Energi Raja Tempirai (PHE RT) dan PT Golden Spike Energy Indonesia (GSEI) yang saat ini berjalan di tingkat banding dinilai tidak sah.
Peradilan umum dianggap tidak berwenang mengadili sengketa yang kontraknya menyebutkan bahwa jika terjadi dispute akan diselesaikan melalui arbitrase.
Menurut pakar hukum dan arbiter Frans Hendra Winarta, jika peradilan umum tetap menjalankan persidangan, berarti melanggar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
“Dengan demikian, peradilan tersebut tidak sah. Keputusannya juga tidak sah, meski keputusan tersebut sudah ditetapkan,” kata Frans di Jakarta. Kamis (29)/1/2015).
Frans mengatakan peradilan umum tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili sengketa perjanjian arbritase. Untuk itu, pengadilan sama sekali tidak punya kewenangan memasuki substansi yang disengketakan.
Satu-satunya hal yang harus dilakukan, tuturnya, pengadilan wajib menolak dan menyatakan tidak berwenang menangani perkara tersebut. Hal itu bahkan seharusnya sudah dilakukan pada tingkat Pengadilan Negeri.
“Jika terdapat sengketa perjanjian arbitrase, seharusnya dari awal pengadilan menyarankan tidak berwenang menangani,” katanya.
Hal tersebut, sesuai dengan Pasal 3 dan 11 UU Nomor 3 Tahun 1999. Pasal 3 menyebutkan, “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.”
Sementara Pasal 11 ayat (1), “Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis, meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjian ke Pengadilan Negeri.”
Dan, Pasal 11 ayat (2),” Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.”
Jika sudah terlanjur memasuki peradilan tahap yang lebih tinggi, seperti yang terjadi dalam sengketa PHE RT melawan GSEI, pengadilan tingkat kedua pun harus memutuskan dan menetapkan, bahwa pengadilan tidak berwenang menangani dan menyerahkan kepada arbitrase. Adapun putusan pada pengadilan tingkat pertama, otomatis tidak sah karena bertentangan dengan undang-undang.
Sementara itu, mantan Hakim Agung Benjamin Mangkoedilaga mengaku heran mengapa masih ada hakim peradilan umum yang menangani perkara arbitrase. Padahal, selain perundang-undangan sudah terang-benderang, yurisprudensi untuk masalah ini juga teramat banyak.
Untuk itu Benjamin yang juga Arbiter Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), mendukung upaya PHE RT, yang mengajukan gugatan arbitrase di International Court of Chambers (ICC).
Apalagi dalam klausul kontrak antara PHE RT dan GSEI sendiri, memang disebutkan bahwa jika terdapat perselisihan, maka gugatan penyelesaian dilakukan melalui ICC. “Karena jika terjadi sengketa, maka perkara wajib diselesaikan di arbitrase yang sesuai dengan klausul kontrak,” katanya.
Benjamin juga sependapat dengan langkah PHE RT, yang menolak keputusan Pengadilan Negeri. Menurut Benjamin, klausul kontrak bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan. Sama sekali tidak ada pengecualian.
Artinya, jika disebutkan bahwa kalau terjadi sengketa harus diselesaikan melalui arbitrase, maka sesuai kompetensi absolut, hanya arbitrase yang berwenang menangani.
"Bagaimana Jika berlanjut hingga tingkat Mahkamah Agung? Biarkan saja. Toh, MA juga akan menolak dan memang harus menolak,” kata Benjamin.