Bisnis.com, JAKARTA - Serangan perompak terhadap tanker kecil yang mengincar kargo minyak dan gas di lepas pantai kawasan Asia Tenggara kian mengkhawatirkan sepanjang tahun lalu.
Berdasarkan data International Chamber of Commerce (ICC) International Maritime Bureau (IMB), tercatat kasus perompakan terhadap tanker kecil di kawasan Asia Tenggara mencapai 21 kasus pada 2014 dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebanyak 12 kasus.
"Perompak bersenjata menyerang tanker kecil wilayah untuk kargo mereka, banyak di antaranya mengincar minyak dan gas untuk dicuri," kata Pottengal Mukundan, Direktur IMB, dalam rilis resminya minggu lalu (12/1/2015).
Penaikan kasus perompakan di Asia Tenggara ini turut memengaruhi peningkatan kasus pembajakan kapal global, meskipun angka di atas termasuk ke dalam level terendah selama delapan tahun.
IMB melaporkan 245 insiden pembajakan di seluruh dunia pada tahun lalu, turun 44% dari puncak tertingginya pada 2011.
"Kenaikan kasus perompakan global tahun lalu disebabkan oleh meningkatnya serangan terhadap tanker di wilayah pesisir Asia Tenggara," ujar Pottengal.
IMB sendiri memuji upaya Kepolisian Kelautan Indonesia untuk membendung aktivitas kriminal tersebut. Di luar batas pelabuhan, menurut IMB, bajak laut sangat aktif di perairan sekitar Pulau Bintan dan Laut Cina Selatan, tempat 11 kapal dibajak pada 2014.
Menanggapi data di atas, Direktur National Maritime Institute (Namarin) Jakarta Siswanto Rusdi mengatakan data IMB seharusnya lebih spesifik dalam membedakan tindak pencurian biasa atau pembajakan.
Terkait dengan pembajakan, menurut Siswanto, kasus pembajakan di Selat Malaka jauh berkurang dari sebelumnya.
Namun, dia menegaskan pemerintah perlu memperhatikan masalah polemik keamanan laut sesuai dengan Undang-Undang (UU) No. 17/2008 tentang Pelayaran.
Siswanto menjelaskan badan khusus seperti sea coast guard harusnya sudah dibangun setelah tiga tahun dari penetapan UU Pelayaran.
UU yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 Mei 2008 menjelaskan perlunya penggabungan Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) dengan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Kementerian Perhubungan.
Pada kenyataannya, UU No.32/2014 tentang Kelautan telah menetapkan pertahanan, keamanan , penegakan hukum dan keselamatan laut berada di tangan Badan Keamanan Laut (Bakamla). Sebelum disahkan UU Kelautan badan tersebut dikenal sebagai Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla).
Siswanto sendiri menegaskan bahwa istilah sea coast guard sendiri tidak disebutkan di dalam UU Kelautan, sedangkan istilah ini lebih dikenal dalam dunia maritim internasional.
“Ketika Bakamla diketuk palunya, istilah sea coast guard tidak dipakai,” kata Siswanto kepada Bisnis.com, Selasa (20/1/2015).
Dengan melihat keruwetan ini, Siswanto menyarankan pemerintah untuk mengkaji ulang perampingan wewenang dan tanggung jawab pengawasan laut supaya biaya alokasi anggaran lebih fokus. “Poros maritim bukan makin rapi, tetapi simpang siur,” ujarnya.