Bisnis.com, JOGJA – Ketika ribuan ibu-ibu di bumi pertiwi ini merayakan Hari Ibu Nasional di gedung-gedung pertemuan mewah, di bangsal-bangsal indah, dengan nyanyian dan tarian, ketika itu ribuan lainnya bahkan tidak sadar ada hari yang didedikasikan khusus untuk mereka, Hari Ibu Nasional.
Seperti Senin (21/12/2014), matahari menyapa hangat saat puluhan ibu cantik berbalut kebaya indah dan kain-kain batik menawan menggelar peringatan Hari Ibu Nasional di Bangsal Kepatihan di Kompleks Kepatihan Danurejan di pusat Kota Yogyakarta. Alunan tembang panemboro dibawakan secara apik oleh muda-mudi remaja berkebaya seragam merah.
Di pusat Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta itu, di hadapan Wakil Gubernur Sri Paduka Paku Alam IX, para ibu pejabat membicarakan peranan perempuan, khususnya ibu, di tengah-tengah masyarakat. Umumnya menyorot peranannya yang sudah baik tetapi belum maksimal.
Sementara itu, hanya terpaut beberapa ratus meter dari lokasi acara tersebut, tepatnya di Pasar Beringharjo, puluhan bahkan ratusan ibu berjibaku dengan beban berat di atas punggung. Ya, mereka adalah para wanita buruh gendong di Pasar Beringharjo.
Seperti siang itu, di tengah hiruk pikuk puluhan ribu manusia yang memadati Pasar Beringharjo, Nginem (54), terbungkuk-bungkuk menggendong beban seberat nyaris 50 kg di atas punggungnya. Beban yang dibawa nenek tiga cucu itu terlihat menggunung dibalik punggungnya. Karet gelang merah mengikat rambut panjangnya yang berwarna kelabu, bisa jadi agar tidak menghalangi pekerjaan.
Berlawanan dengan tubuhnya yang terbungkuk-bungkuk membawa beban, langkahnya bergerak lincah melewati banyak pejalan kaki yang berlalu lalang. Hujan yang turun rintik-rintik, tidak menghalangi langkah kakinya yang beralaskan sendal jepit tipis. Ia bergerak cepat dari tempat parkir di luar area pasar ke dalam bangunan pasar menuju sebuah toko penjual busana berbahan kain jarik.
Di hadapan sang pemilik toko, Nginem menurunkan bebannya, lalu kembali lagi ke parkiran untuk mengambil beban lainnya. Meski enggan menyebutkan bayaran yang diterimanya, hampir pasti upah yang diterima Nginem “tidak seberapa” untuk mengangkut beban itu.
Sebab, dalam satu hari, wanita yang telah 20 tahun bekerja sebagai buruh gendong di Pasar Beringharjo itu rata-rata hanya menerima sekitar Rp25.000 – Rp50.000.
“Kalau sedang sepi paling Rp20.000 atau Rp25.000. Kalau sedang ramai baru bisa Rp50.000 atau lebih-lebih sedikit. Ya ndak mesti dapat berapa,” ujarnya kepada JIBI saat meneduh sejenak dari hujan deras yang mengguyur Kota Yogyakarta sore hari.
20 tahun sudah Nginem bekerja sebagai buruh gendong di Pasar Beringharjo. Namun selama itu, Nginem mengaku tidak terpikir melakukan pekerjaan lain. Bagi Nginem, asalkan ia bisa memperoleh penghasilan untuk menambah pendapatan keluarga dan menyekolahkan anak-anak, sudah cukup.
Maka, ketika ditanyai tentang Hari Ibu yang dirayakan banyak pihak pada hari itu, Nginem hanya memberikan senyum lebarnya. Senyum yang dengan sangat jelas mengatakan “saya tidak tahu”, “saya tidak mengerti”, bahkan mungkin “saya tidak peduli”.
Senyum sejenis juga tersungging di bibir Sugiyem, warga Bantul yang juga bekerja sebagai buruh gendong di Pasar Beringharjo. “Saya ndak lulus SD e mbak,” ujar Nenek berusia 64 tahun tersebut saat disinggung tentang Hari Ibu.
Tugiyem bahkan telah 30 tahun bekerja sebagai buruh gendong di Pasar Beringharjo. Tetapi, berbeda dengan Nginem, Sugiyem tidak lagi mengangkut beban-beban super berat hingga 50 kg. “Saya bawa beban secukupnya saja sesuai kemampuan, tidak berat-berat,” ujarnya.
Di Pasar Beringharjo, Nginem dan Sugiyem bukanlah satu-satunya yang mengadu nasib sebagai buruh gendong. Masih ada ratusan ibu lainnya dengan pekerjaan serupa. Sebagian besar berusia tidak muda lagi, lebih dari setengah abad.
Mereka berkumpul di Beringharjo untuk tujuan yang sama, bekerja membanting tulang, mencari tambahan nafkah, untuk menopang hidup keluarga. Tapi tidak semua “seberuntung” Nginem dan Sugiyem yang dapat pulang ke rumahnya setiap hari.
Banyak lainnya, yang berasal dari Kabupaten Kulonprogo, terpaksa harus tinggal mandiri di pusat kota, jauh dari keluarga tercinta. Mereka tinggal bersama di sebuah emperan pertokoan di bagian belakang bangunan pasar. Tanpa dinding-dinding yang melindungi dari hawa dingin, tanpa atap yang secara sempurna melindungi dari hujan.
Dan bagi mereka, peringatan Hari Ibu Nasional bisa jadi hanya berupa angan-angan indah. Ya, bisa jadi, hingga hari ini, Hari Ibu Nasional masih berupa acara peringatan hanya menyentuh kalangan ibu “intelek” dan belum sampai ke para ibu yang membanting tulang dalam arti sesungguhnya di salah satu pasar tertua dan ternama di Negeri Kraton.