Bisnis.com, TANGERANG—Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang pada awalnya diprediksi akan meningkatkan jumlah ekspor Provinsi Banten justru berdampak buruk pada nilai ekspor nonmigas dan pertumbuhan industri daerah ini.
Jaih Ibrohim, Kepala Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik (IPDS) BPS Provinsi Banten mengatakan akibat depresiasi rupiah, nilai ekspor Banten pada September 2014 turun 8,47% atau berkurang hingga US$77,57 juta setara dengan Rp939,76 miliar.
Pada periode ini, nilai ekspor Banten hanya mencapai US$837,85 juta, susut dari US$915,42 juta pada bulan sebelumnya. Penurunan ini menurutnya disebabkan oleh naiknya harga bahan baku/penolong yang masih impor akibat depresiasi rupiah.
“Dari beberapa penyebab, efek kenaikan harga bahan baku/penolong akibat depresiasi rupiah berdampak paling besar. Selain itu, pada periode ini juga terjadi penurunan permintaan pasar,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (4/11/2014).
Ekspor nonmigas terbesar Banten pada September 2014 dipegang oleh golongan barang alas kaki dengan nilai US$164,89 juta atau naik US$3,99 juta. Sementara penurunan ekspor terbesar dialami oleh golongan barang besi dan baja yang anjlok hingga US$65,23 juta atau dari US$110,17 juta menjadi US$44,95 juta.
Dalam hal ini, lanjutnya, bahan baku produksi golongan barang alas kaki tidak terkena dampak depresiasi rupiah karena terpenuhi oleh produksi dalam negeri. Sementara bahan baku/penolong pada golongan barang besi dan baja masih bergantung dari luar negeri.
Selain golongan barang alas kaki yang mengalami pertumbuhan ekspor positif, golongan barang plastik dan barang dari plastik serta tembaga juga mengalami peningkatan dengan nilai ekspor masing-masing mencapai US$82,09 juta dan US$60,41 juta.
Lima dari sepuluh golongan barang ekspor nonmigas utama Banten setelah besi dan baja menurutnya juga mengalami penurunan, a.l plastik dan barang dari plastik, bahan kimia organik, kertas/karton dan mesin-mesin/pesawat mekanik.
Sebagian besar dari golongan barang yang yang mengalami penurunan nilai ekspor, ujarnya, akibat harga bahan baku yang masih impor melambung seiring dengan depresiasi rupiah.