Bisnis.com, MALANG - Gaya komunikasi politik yang ditunjukkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai sarat dengan kearifan lokal dan cenderung tidak kaku, sehingga mampu mencairkan suasana.
Pakar komunikasi politik Universitas Brawijaya (UB) Malang, Anang Sujoko, mengatakan gaya komunikasi Presiden Jokowi berbeda dengan presiden sebelumnya.
“Komunikasi Jokowi lebih egaliter dan kadang gayanya menggunakan budaya Arek yang langsung berbicara mengenai inti masalah,” kata Anang, Kamis (30/10/2014).
Jokowi juga dinilai mampu memecah suasana agar tidak kaku dan cenderung menghindari protokoler kepresidenan. Sementara presiden sebelumnya cenderung mengikuti protokoler yang terkesan sakral dan kaku.
Gaya komunikasi tersebut sering dipraktikkan oleh Jokowi sejak dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 2014 lalu. Jokowi juga sering mengadopsi nilai moral dan budaya masyarakat dalam gaya komunikasinya.
“Bahkan Jokowi yang akrab dengan budaya Mataraman tersebut juga menggunakan gaya Mataraman dalam berkomunikasi,” jelas dia.
Dengan demikian, suasana komunikasi politiknya kendati di tengah situasi yang panas sekalipun bisa menjadi lebih dingin atau cair. Apalagi Jokowi juga menganut konsep ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.
Jokowi menyadari presiden harus menjadi contoh dan menjadi pemimpin yang mengayomi. Selain itu presiden harus mengenal karakter masyarakat yang dipimpinnya.
“Sehingga saat membuat kebijakan yang berdampak luas harus menggunakan pendekatan kearifan lokal pula,” ujarnya.
Dengan begitu masyarakat tidak merasa dilukai melalui kebijakan yang dibuat itu. Kebijakan penaikan bahan bakar minyak (BBM) misalnya dilakukan dengan menggunakan kearifan lokal.
Akibatnya masyarakat tidak cenderung reaktif untuk melakukan penolakan dengan cara-cara yang tidak diharapkan. Disinilah gaya komunikasi presiden sangat berpengaruh dalam mengendalikan kemungkinan terjadi dampak dari kebijakan yang dibuatnya itu.