Bisnis.com, FRANKFURT--Upaya Bank Sentral Eropa (ECB) untuk melemahkan euro berpotensi memicu perang mata uang.
Namun, pemangku kebijakan negara lainnya tidak mengambil tindakan karena mengetahui ECB tidak memiliki banyak alternatif untuk membuat perekonomiannya tetap bergulir.
Pejabat ECB telah menyatakan perlunya menurunkan nilai euro agar perekonomian negara anggota UE dapat sejenak menghela napas, yang saat ini tengah dihantui ancaman deflasi dan stagnansi.
"Posisi ECB saat ini serupa dengan Jepang [saat meluncurkan quantitative easing April tahun ini] dan tidak ada yang bisa mengkritik hal itu. Namun meski euro terus terdepresiasi, publik tidak akan terlalu memperhatikan sebab dolar dan yen sedang terapresasi," kata Yujiro Goto, ahli strategi mata uang asal Nomura, Selasa (17/9/2014).
Pada Maret lalu, Kepala ECB Mario Draghi menggambarkan, penguatan euro sebanyak 8% sejak pertengahan 2012 telah menekan inflasi antara 40-50 basis poin, atau setara 0,5%, dan melambat 0,3% pada Agustus 2014.
Gubernur Bank Sentral Prancis Christian Noyer bahkan secara eksplisit mengungkapkan, Eropa harus melemahkan euro secara berkala. "Kita perlu dan masih akan perlu menurunkan euro," katanya. Hal ini didukung oleh koleganya, Gubernur Bank Sentral Austria Ewald Nowotny.
Sejumlah manuver ECB seperti intervensi verbal, pemangkasan tingkat suku bunga hingga mendekati 0% dan membanjiri perbankan dengan pinjaman bunga rendah serta pembelian obligasi swasta, mampu meredam euro menjadi hanya US$1,30 per dolar dari sebelumnya US$1,40 pada Mei lalu.
Salah satu profesor paling berpengaruh dalam soal mata uang, Barry Eichengreen asal University of California, mengungkapkan kebijakan tersebut adalah harga yang harus dibayar Eropa karena gagal memperbaiki kinerja perekonomiannya.
Namun di sisi lain, Barry menambahkan kebijakan tersebut akan menjauhkan pasar finansial AS dari gangguan.
Kebijakan EC ini dapat mendorong terjadinya persaingan penurunan nilai mata uang oleh negara atau kawasan lain sehingga menjadi lebih kompetitif saat berhadapan dengan euro.
"Orang-orang tidak mengkritik ECB sebagai pemicu perang mata uang karena mereka juga cemas zona euro akan tergelincir menuju deflasi. Ekonomi global juga berkepentingan agar Eropa dapat melakukan apapun untuk terhindar dari deflasi," kata seorang pengambil kebijakan asal Jepang yang menolak disebut namanya.
Stagnansi perekonomian zona Euro diyakini memberi dampak kepada pelaku di pasar negara berkembang Asia.
Pada perkembangan lain, bursa saham Eropa terempas ke titik terendah dalam 2 minggu terakhir saat investor masih menunggu hasil pertemuan terakhir The Fed.
Indeks Stoxx Europe 600 kembali turun sebesar 0,6% pada perdagangan Selasa (16/9) pukul 9.33 waktu London, setelah sehari sebelumnya terpukul data industri China yang mengecewakan, sementara Indeks S&P 500 jatuh 0,1% dan MSCI Asia Pasific turut terperosok 0,5%.