Bisnis.com, TOKYO - Akhir pekan lalu dua perwakilan warga Batang mengunjungi Jepang untuk menyuarakan penolakan terhadap megaproyek PLTU Batang, langsung kepada Pemerintah Jepang dan konsorsium swasta yang terlibat.
Roidi dan Taryun, perwakilan warga Batang dari Desa Karanggeneng dan Desa Ponowareng akan bertemu dengan pihak Japan Bank for International Cooperation (JBIC) sebagai pemodal proyek PLTU terbesar di Asia Tenggara tersebut.
Bersama Arif Fiyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, dan Wahyu Nandang, Pengacara Publik Pendamping Warga Batang dari YLBHI, keduanya juga menjadwalkan pertemuan dengan Kementerian Keuangan, serta Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri, serta dua perusahaan Jepang yang terlibat dalam proyek senilai US$4 miliar tersebut.
"Kami ingin menyuarakan penolakan langsung kepada pihak-pihak terkait, seperti Kementerian Keuangan Jepang, Itochu dan J-Power. Setelah melakukan berbagai upaya penolakan terhadap PLTU Batang di Batang, Semarang, maupun Jakarta, kami berharap perjalanan ke Jepang, dapat memastikan pembatalan pembangunan PLTU di Batang," ujar Roidi, Rabu (9/9/2014).
Sementara itu, Wahyu menyatakan JBIC menghormati hak masyarakat setempat sehingga tidak ada pelanggaran hak asasi apalagi intimidasi terhadap pemilik lahan. “Kami berharap JBIC tidak memperpanjang investasi di PLTU Batang," terangnya.
Perwakilan warga Batang, Greenpeace dan YLBHI diundang ke Jepang oleh jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang lingkungan di Jepang yang terdiri dari FoE Jepang, Jacses, Kikonet, dan Nindja (Network for Indonesia Democracy Japan). Jaringan ini mendesak JBIC untuk membatalkan rencana pendanaan pembangunan PLTU Batang. Apalagi pekan lalu pihak JBIC menyatakan minat untuk memperpanjang komitmen pendanaan terhadap proyek PLTU Batubara di Batang.
"Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, memaksakan pembangunan PLTU di Batang sama dengan mempercepat laju perubahan iklim di negara kepulauan itu. Jika terus dipaksakan, PLTU Batang justru akan menjadi simbol buruk hubungan kerjasama antara Indonesia dan Jepang," tegas Hozue Hatae, Juru Kampanye Iklim dan Pembangunan FoE Jepang.
Selain menyampaikan pesan kepada pihak terkait di Jepang, perjalanan ini juga ingin menyampaikan pesan kepada Joko Widodo sebagai Presiden terpilih periode 2014—2019 untuk membatalkan rencana pembangunan PLTU Batang sebagai wujud komitmen perlindungan dan pemulihan lingkungan yang terintegrasi dengan pembangunan.