Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Konglomerat Malaysia Ananda Krishnan Terjerat Hukum Di Indonesia

Kasus penyuapan yang didakwakan kepada konglomerat Malaysia Ananda Krishnan dan eksekutif puncak, Ralph Marshall, terhadap mantan Menteri Telekomunikasi India memunculkan tanggapan dari mantan mitra bisnis kelompok usaha orang terkaya nomor dua di Malaysia, di Indonesia.
Konglomerat Malaysia Ananda Krishnan/Bloomberg
Konglomerat Malaysia Ananda Krishnan/Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA – Kasus penyuapan yang didakwakan kepada konglomerat Malaysia Ananda Krishnan dan eksekutif puncak, Ralph Marshall, terhadap mantan Menteri Telekomunikasi India memunculkan tanggapan dari mantan mitra bisnis kelompok usaha orang terkaya nomor dua di Malaysia, di Indonesia.

Anthony Saragi dari Kantor Hukum Hutabarat, Hakim, dan Rekan yang bertindak sebagai kuasa hukum PT Ayunda Prima Mitra, mitra Astro Group milik Khrisnan, mengungkapkan kliennya pernah mengadukan tindak pidana yang dilakukan oleh CEO Astro Asia Network Plc, Ralph Marshall, ke Mabes Polri. Berkas laporan pun telah dinyatakan lengkap.

Kasus tersebut, kata Saragi, bermula ketika Astro Asia Network PLC, unit usaha Astro Group, melakukan kerja sama dengan kliennya dengan membentuk dan memiliki saham PT Direct Vision untuk menjalankan bisnis televisi berbayar dengan merek Astro TV.

Namun dalam pelaksanaannya, menurut dia, Astro Group melalui Ralph Marshall melakukan klaim atas biaya operasional yang tidak wajar dan membukukan sejumlah biaya sebagai utang sehingga sebagai pemegang saham Ayunda dirugikan tidak kurang dari US$90 juta.

"Pada 2009 klien kami melaporkan Ralph Marshall dan Astro Group ke Mabes Polri dengan butir gugatan yakni perbuatan melawan hukum dan laporan polisi terkait dengan dugaan tindak pidana penggelapan, penipuan, pencucian uang, dan pemalsuan," ujarnya.

Atas laporan dugaan tindak pidana penggelapan dalam jabatan, penipuan, dan pencucian uang, menurut Saragi, diterbitkan sudah Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3).

Namun, untuk laporan atas dugaan tindak pidana pemalsuan surat yang dilakukan oleh Ralph Marshal dkk, seperti merekayasa pencatatan data keuangan sehingga PT Direct Vision dinyatakan berutang kepada Astro, katanya, Mabes Polri menyatakan berkasnya sudah lengkap.

“Sesuai prosedur, Ralph Marshall ditetapkan sebagai tersangka pada 9 Maret 2012 namun ketika Kejaksaan meminta tersangka dihadirkan, pihak Polri kesulitan (menghadirkan Marshall),” kata Saragi dalam siaran pers yang diterima Kabar24.com.

Berdasarkan catatan Kabar24.com, Ananda Khrisnan pada Februari tahun ini tercatat sebagai orang terkaya nomor dua di Malaysia dengan kekayaan sekitar US$11,3 miliar. Bisnis Ananda Khrisnan adalah sektor telekomunikasi, televisi berbayar dan pertambangan.

Sebelumnya, Central Bureau of Investigation (CBI), semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), India, mendakwa mantan Menteri Telekomunikasi India, Dayanidhi Maran bersama saudaranya, Kalanidhi Maran, dalam kasus skandal korupsi perizinan telekomunikasi Spektrum 2G di India.

Artikel di situs harian ternama India, Times of India, berjudul Aircel-Maxis deal case: CBI charges Maran brothers menyebutkan CBI  mendakwa mereka berdasarkan Pasal 120B (konspirasi kriminal) dari Undang Undang Pencegahan Tindak Pidana Korupsi di India.

Selain Maran bersaudara, CBI juga mendakwa konglomerat Malaysia T Ananda Krishnan, eksekutif puncak Maxis Ralph Marshall, dan empat perusahaan termasuk Sun Direct TV Pvt Ltd dan perusahaan Malaysia, Maxis Communication Berhad, dalam kasus tersebut.

Sementara itu, menurut catatan Kabar24.com, gugatan PT Direct Vision (DV) terhadap Grup Astro akhirnya tandas di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan setelah majelis hakim memutuskan untuk tidak berwenang mengadili sengketa antara kedua perusahaan tersebut.

“Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan tidak berwenang mengadili perkara nomor 533/PDT.G/2012/PN.JKT-SEL,” ujar Ketua Majelis hakim, Syamsul Edi dalam amar putusannya, Kamis (5/6/2014).

Majelis hakim menilai bahwa sengketa antara kedua belah pihak mengenai kerjasama penyelenggaraan televisi berbayar seharusnya diselesaikan dengan mekanisme arbitrase, seperti kesepakatan yang tertuang dalam joint venture agreement.

Di dalam pertimbangannya hakim juga menyebutkan bahwa perkara ini sudah diselesaikan di badan arbitrase internasional Singapura,Singapore International Arbitration Centre (SIAC), sehingga PN Jakarta Selatan tidak lagi berwenang mengadili kasus ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Eries Adlin
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper