Bisnis.com, BEKASI—Kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang akan berlaku pada 1 Juli untuk industri golongan I-3 non Tbk hingga pelanggan rumah tangga membuat pengusaha Kota Bekasi bersiap melakukan otomatisasi untuk menggenjot produksi.
Akibatnya, pengusaha akan mengurangi karyawan secara besar-besaran.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Bekasi Purnomo Narmiadi memaparkan pengurangan karyawan telah dilakukan oleh pengusaha sejak tahun lalu.
Pengurangan karyawan di Kota Bekasi berkisar di atas 4.000-an karena pengusaha terkena dampak kebijakan pemerintah dan kondisi perekonomian Indonesia yang meliputi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), harga gas industri naik, kenaikan TDL, naiknya suku bunga bank, fluktuasi rupiah hingga tuntutan buruh atas upah minimum kota (UMK) di Kota Bekasi.
“Kami tak ada pilihan lagi selain mengurangi karyawan. Sekarang beban listrik naik, belum lagi tiap tahun UMK juga naik. Kalau tidak melakukan otomatisasi, pengusaha bisa merugi besar,” papar Purnomo kepada Bisnis.com, Minggu (15/6/2014).
Purnomo memaparkan pergeseran tenaga manusia ke tenaga mesin (otomatisasi) setidaknya dapat menghemat pengeluaran untuk upah karyawan. Selain itu, pihak pengusaha telah berhitung jika menggunakan tenaga manusia akan membebani biaya operasional apabila tiap tahun harus ada kenaikan UMK.
Di sisi lain, kata dia, dampak kenaikan TDL pada tahun ini cukup terasa bagi pengusaha industri kelas besar hingga pelaku industri kecil dan menengah (IKM). Jika kenaikan TDL untuk enam sektor terealisasi pada 1 Juli, Purnomo menyatakan perusahaan akan mengurangi kapasitas produksi.
“Dari industri hulu hingga hilir terkena semua dampaknya,” ujarnya.
Dia memaparkan industri hulu dipastikan akan menaikkan harga jual barang yang selama ini diperlukan oleh pelaku IKM. Namun demikian, kata Purnomo, belum tentu pelaku IKM dapat menaikkan harga jual kepada konsumen karena berimbas pula melemahnya daya beli masyarakat.
Dengan kondisi ketidakseimbangan tersebut, pihaknya khawatir pelaku IKM di Kota Bekasi akan gulung tikar karena tidak mampu menekan biaya produksi yang melambung tinggi hingga 20%.
“Bagi pengusaha yang kreatif, mereka akan menciptakan produk baru dengan kemasan beda serta kualitas di bawahnya atau tetap berproduksi dengan harga yang sama namun volume produk dikurangi,” papar Purnomo.