Bisnis.com, JAKARTA – Proses hukum kasus proyek bioremediasi Chevron sudah berlangsung lebih dari dua tahun dan saat ini telah memasuki tahap banding di Pengadilan Tinggi (PT) dan Mahkamah Agung (MA).
Selama itu pula pikiran Widodo, salah seorang tersangka dalam kasus ini, tak karuan. “Terus terang saja, dua tahun ini rasanya seperti ratusan tahun,” katanya dalam wawancara, Jumat (7/3/2014).
Dijadikannya sebagai tersangka dalam kasus korupsi tanpa kejelasan pelanggaran dan bukti-bukti hukumnya, menurutnya, telah menorehkan luka yang sangat dalam pada kehidupan keluarganya.
Menurutnya sejak Maret 2012, bersama dengan empat rekannya di PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan dua kontraktor, Widodo terseret menjadi pesakitan di meja hijau.
Masih sangat jelas dalam bayangan Widodo bahwa seharusnya pada 2015, dia bisa pensiun dengan tenang sambil memfokuskan diri pada kesehatan istrinya, berbahagia atas pernikahan anak pertamanya, serta menanti anak kedua dan ketiganya menyelesaikan pendidikan mereka.
“Bayangan indah itu sirna seketika. Setelah ditetapkan menjadi tersangka pada Maret 2012, maka pada 26 September 2012, saya ditahan atas tuduhan korupsi,” ujar Widodo.
Widodo mengenang bahwa pada pagi hari sebelum penahanannya ia sama sekali tidak menyangka akan ditahan. Walaupun dia dan rekan-rekannya telah dinyatakan sebagai tersangka, mereka yakin betul tidak bersalah.
Apalagi, informasi mengenai status tersangka itu mereka dapatkan dari media, bukan surat resmi dari negara. Saat itu, menurutnya harapan masih terbuka lebar.
Widodo pun datang ke Kejaksaan Agung di Jakarta dari rumahnya di Minas, Riau, untuk memenuhi panggilan pemeriksaan pertama sebagai tersangka. Selama dirinya diperiksa, tak satupun hal yang ditanyakan mengindikasikan bahwa ada pelanggaran hukum yang dilakukannya. Namun tak disangka sama sekali oleh Widodo, setelah seharian menjalani pemeriksaan, malamnya, dia dan tiga rekannya di Chevron serta dua orang kontraktor harus mendekam di penjara.
Alasan jaksa saat itu, menurutnya, karena mereka berenam dikhawatirkan kabur. “Padahal, saya sendiri datang dengan pemikiran positif bahwa telah terjadi kesalahan dalam penetapan saya sebagai tersangka,” imbuhnya.
“Saya kaget sekali waktu ditahan. Kenapa ini? Kok bisa ke saya? Saya cuma karyawan lapangan, jelas-jelas tidak bersalah, saya tak punya wewenang soal proyek atau kontraknya dan tidak ada sangkut-pautnya,” katanya dengan suara getir, mengingat kejadian Rabu malam kelabu itu.
Sampai sidang pembacaan vonis pada Juli 2013lalu, tak satupun keterangan dan bukti yang mendukung tuduhan jaksa penuntut umum. “Saya harus mengalami semua kepahitan ini untuk kasus yang dipaksakan. Fakta-fakta persidangan sudah membuktikan bahwa kami tidak bersalah. Bahkan dua dari lima hakim menyatakan kami tidak bersalah dan harus dibebaskan dari segala tuntutan,” katanya.
Widodo dituntut melakukan tindak pidana korupsi pada periode Januari 2008 sampai April 2012 dalam jabatannya selaku Team Manager IMS-REM. Padahal pada periode tersebut, jabatan Widodo adalah Construction Representative di Sumatera Light South (SLS) dan Team Leader Waste Management di Sumatra Light North (SLN). “Ini saja sudah jelas keliru karena yang menduduki jabatan itu adalah atasan saya,” jelasnya.
Kedua hakim yang berbeda berpendapat (dissenting opinion) menilai bahwa jaksa keliru dalam mempersalahkan Widodo. Tuntutan jaksa atas belum keluarnya izin pengelolaan bioremediasi kepada Widodo tidak memiliki dasar hukum dan Widodo sendiri telah melakukan tugasnya sebagai Team Leader Waste Management dengan memberikan laporan kepada atasannya.
Dalam keterangan kedua hakim, menurut Widodo, selain terbukti bahwa tidak ada niat jahat, Widodo pun tidak memiliki kewenangan untuk melakukan proses pengadaan proyek bioremediasi sehingga mustahil jika dia dinyatakan telah menyalahgunakan kewenangannya.
Masa sulit bagi istri dan keluarga, menurut Widodo, saat penahanan itu, bukan dirinya yang paling dikhawatirkannya tapi keluarganya. “Bagi saya, keluarga itu nomor satu. Waktu ditahan, yang saya pikirkan adalah istri saya. Kasihan dia,” ujarnya.
Istrinya, Yati, sakit darah tinggi dan mengalami pembengkakan jantung. Widodo cemas tidak bisa menemani istrinya saat dibutuhkan.
Namun demikian, Widodo sangat bersyukur. Meski tidak dalam kondisi prima, Yati terus memberikan dukungan penuh kepada suaminya tercinta. Saat kasus ini bergulir ke pra-peradilan—di mana penahanan Widodo dianggap tidak sah—tak ada satu sidang pun yang tidak Yati hadiri.
Persidangan di Pengadilan Tipikor bisa memakan waktu seharian, dari pagi hingga tengah malam, dari menunggu tersedianya ruangan hingga pembacaan putusan. Di tengah kesulitannya untuk duduk berjam-jam di kursi pengunjung, Yati tetap tak pernah jauh dari suaminya. Dia menguatkan diri agar keluarganya bisa melewati cobaan itu.
Bukan hanya kesehatan istrinya yang membuat Widodo sedih bukan kepalang. Karena jadwal persidangan di Jakarta begitu ketat, dia harus menerima nasib tidak bisa menemani putri pertamanya, Ika, mempersiapkan pernikahan di bulan Mei 2013.
“Waktu saya di tahanan lalu masuk ke periode persidangan, istri saya sendirian mencari gedung, babak belur mempersiapkan penikahan sendirian. Sampai hari-H pernikahannya, saya pulang ke rumah di akhir pekan, kemudian pontang-panting langsung terbang lagi ke Jakarta karena besoknya, di hari Senin, saya harus bersidang kembali,” katanya.
Widodo pun gagal menjadi wali di pernikahan keponakannya karena saat itu dia masih dalam tahanan. Saat ditanya oleh para tamu perihal absennya dari pernikahan tersebut, keluarga besarnya harus menjawab dengan alasan Widodo sedang ada tugas. “Itu menampar sekali,” tuturnya lirih.
Anak kedua Widodo, harus merelakan ketidakhadiran ayahandanya saat dia diwisuda sebagai dokter di Surabaya, Jawa Timur, pada bulan Oktober 2012. Dia dan adiknya yang juga menuntut ilmu untuk menjadi dokter di Surabaya, bahkan sempat takut tidak bisa menyelesaikan pendidikan karena kasus yang menimpa ayah mereka.
Dana untuk biaya pendidikan tentunya tidak muncul begitu saja, sang ayahanda harus bekerja agar mereka mampu bersekolah. Tak terbayang oleh mereka jika ayah tercinta pada akhirnya harus kembali mendekam di penjara. Siapa yang akan menjadi tumpuan hidup mereka?
Walaupun cobaan sedang menerpanya, Widodo sangat berterima kasih dan lega atas banyaknya dukungan dari publik, keluarga besar, dan rekan-rekannya di Chevron. “Semua percaya kami tidak bersalah,” katanya.
Widodo bercerita bahwa perasaan menunggu putusan banding ini lebih membuatnya ketar-ketir daripada sebelumnya. “Bukan takut karena bersalah, tapi saya dan rekan-rekan tersangka lainnya telah melewati banyak kejanggalan dalam proses hukum ini. Jadi wajar kami mulai tak yakin dengan hasil proses hukum ini,” ujarnya.
“Bom waktu”, begitu katanya. Widodo tidak tahu apakah dia nantinya akan berada di balik jeruji untuk sesuatu yang tidak dilakukannya. “Sekarang, istri saya malah lebih deg-degan menunggu putusan banding akan seperti apa,” ujarnya.
Kasus ini betul-betul menggerogoti hidup Widodo dan keluarga. “Kami betul-betul sedih. Ini menjadi trauma seumur hidup,” ujarnya. Menurutnya, kesedihan yang dialami keluarganya tidak akan bisa terganti dengan apa pun.
Keluarga Widodo yang sederhana ini, kini hidup dalam tekanan. “Tidak ada satu orang pun yang bisa membaca masa depan, beban ketidakpastian itu terasa begitu besar ditanggung oleh satu keluarga,” ungkap Widodo dengan mata yang agak basah.
Agama mengajarkan Widodo untuk melihat takdir Yang Maha Kuasa secara positif namun menjadi korban atas tuduhan korupsi yang tak pernah dilakukannya tak urung membuatnya sedih dan tertekan.
“Ikhtiar saya sekeluarga tidak akan pernah putus demi tegaknya keadilan dan kebenaran. Saya pun berdoa untuk para hakim yang agar memutus adil dan amanah. Insha Allah, keadilan akan hadir kini ataupun nanti di padang mahsyar,” pungkasnya.