Bisnis.com, HONG KONG—Renminbi China berhasil menggeser posisi euro sebagai mata uang kedua yang paling banyak digunakan dalam keuangan perdagangan global setelah dolar Amerika Serikat.
Fakta tersebut diungkapkan oleh Society for Worldwide Interbank Financial Telecomunication (SWIFT), Selasa (3/12). Mereka melaporkan renminbi mendominasi 8,66% total surat utang dan koleksi pada Oktober, dibandingkan dengan 6,64% oleh euro.
Berdasarkan catatan institusi keuangan yang berpusat di Belgia itu, renminbi paling banyak digunakan dalam keuangan perdagangan di China, Hong Kong, Singapura, Jerman, dan Australia.
“Renminbi jelas menjadi nilai tukar populer dalam keuangan perdagangan secara global, khususnya di Asia,” jelas Franck de Praetere, Kepala Pembayaran dan Pasar Perdagangan untuk Asia Pasifik di SWIFT yang berbasis di Singapura.
Renminbi menduduki perkingkat ke-12 untuk transaksi dalam sistem pembayaran global pada Oktober, tidak berubah dari bulan sebelumnya.
Nilai pembayaran dengan menggunakan mata uang tersebut naik 1,5% pada Oktober, atau masih di bawah pertumbuhan sebesar 4,6% atas total pembayaran seluruh mata uang. Hal itu berarti cakupan pasar renminbi turun 0,84% dari 0,86%.
Mata uang China tersebut terapresiasi 2,3% terhadap dolar AS tahun ini, menjadikannya nilai tukar dengan performa terbaik di Asia. Renminbi sedikit terkoreksi pada level 6,0928 per dolar AS pada Selasa siang (3/12) di Shanghai.
Panel Surya
Selain nilai tukarnya yang menggeser dominasi euro, China juga mengamakan persetujuan dengan Uni Eropa untuk mengurangi impor produk panel surya, sehingga mengakhiri sengketa dagang terbesar dalam sejarah UE itu.
Pemerintah UE mendukung kesepakatan yang digawangi Menteri Perdagangan UE dan China pada Juli, yang mengatur harga minimum dan batasan volume impor panel surya UE dari China hingga akhir 2015.
Produsen-produsen asal China yang terlibat dalam kasus tersebut akan dikenai tarif UE yang ditujukan untuk melawan dugaan penjualan di bawah harga produksi (dumping) dan pemberian subsidi.
Kesepakatan itu bertujuan untuk menyeimbangkan tuntutan antara produsen Eropa—seperti Solarworld AG—akan adanya proteksi perdagangan dan perlawanan China untuk menerapkan cukai terhadap teknologi energi terbarukan.
Perjanjian itu akan berlaku selama 2 tahun, atau lebih cepat dari kebijakan anti-dumping dan anti-subsidi UE yang normalnya berlaku selama 5 tahun.
Produsen panel surya Eropa menderita kerugian material akibat praktik dumping eksportir China dan subsidi pemerintah yang mendistorsi sistem perdagangan. Hasil kesepakatan pada Selasa (3/12) tersebut akan aktif diimplementasikan setelah diterbitkan di Jurnal Resmi (Official Journal) UE pada 6 Desember.
Produsen panel surya Eropa—yang mendominasi tiga perempat pasar photovoltaic global—telah mendesak diberlakukannya proteksi dari kreditur sejak 2010. Sebagian dari mereka telah menggeser basis produksi di pabrik Asia dengan biaya lebih rendah. (Bloomberg)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Wike Dita Herlinda
Editor : Bambang Supriyanto
Topik
Konten Premium