Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Saksi Ahli Sebut Kunci Kasus Century Ada di BI

Pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy yang menjadi saksi ahli dalam penyidikan kasus Bank Century mengungkapkan kunci kasus Bank Century ada pada Bank Indonesia sehingga akhirnya ditetapkan pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
/Ilustrasi
/Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA-- Pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy yang menjadi saksi ahli dalam penyidikan kasus Bank Century mengungkapkan kunci kasus Bank Century ada pada Bank Indonesia sehingga akhirnya ditetapkan pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

"Kata kuncinya bukan di Kemenkeu (Kementerian Keuangan atau Sri Mulyani yang bisa mempengaruhi. Kata kuncinya bukan disitu. Kata kuncinya bagaimana BI (Bank Indonesia) menentukan dia sebagai bank gagal berdampak sistemik," kata Ichsanuddin usai diperiksa penyidik KPK, di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (20/11/2013)

"Posisi kunci di BI," tambahnya saat ditegaskan kembali apakah Bank Indonesia sebagai pihak yang bertanggungjawab.

Pada rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) 20-21 November 2008, yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 4 Tahun 2008 pada 15 Oktober 2008 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Sri Mulyani berperan sebagai Ketua merangkap anggota dan Boediono sebagai anggota. Dari rapat KSSK ditetapkan bahwa Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Bank Century mendapatkan dana talangan hingga Rp6,7 triliun pada 2008 meski pada awalnya tidak memenuhi syarat karena tidak memenuhi kriteria karena rasio kecukupan modal (CAR) yang hanya 2,02 persen padahal berdasarkan aturan batas CAR untuk mendapatkan FPJP adalah 8 persen.

Ichsanuddin mengungkapkan bahwa penyelamatan Bank Century dengan talangan hingga Rp6,7 triliun pada 2008 itu melanggar tidak sesuai dengan prinsip kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan perbankan.

"Penyelamatan harus didasarkan kepada data paling mutakhir. Data paling mutakhir itu adalah neraca harian yang harus diperoleh oleh otoritas pengambil kebijakan. Nah pada saat Century diselamatkan, data mutakhir nggak ada, neraca harian nggak ada. Sehingga angkanya dari Rp632 miliar muncul menjadi Rp 1,7 triliun bahkan di 23 november 2008 menjadi Rp2,7 triliun posisinya," jelasnya.

Kucuran dana segar kepada Bank Century dilakukan secara bertahap, tahap pertama bank tersebut menerima Rp 2,7 triliun pada 23 November 2008. Tahap kedua, pada 5 Desember 2008 sebesar Rp 2,2 triliun, tahap ketiga pada 3 Februari 2009 sebesar Rp 1,1 triliun dan tahap keempat pada 24 Juli 2009 sebesar Rp 630 miliar sehingga total dana talangan adalah mencapai Rp6,7 triliun.

Ia menambahkan, "yang menarik adalah dari struktur talangan yang berjumlah Rp6,762 triliun itu tiga kali penempatan di sana statusnya dalam rangka memenuhi CAR dari negatif menjadi positif posisinya." Berdasarkan hal itu, lanjut Ichsanuddin pemberian dana talangan kepada Bank Century tidak didasarkan pada "cut off" pada saat posisi Ban Century harus diselamatkan.

"Nah ini melanggar prinsip kehati-hatian. ini nggak ketemu dalam cara mengelola penyelamatan. Andaikata kebijakan seperti itu dilakukan kemarin waktu dalam rangka penyelamatan perbankan tahun 1997-1998 maka kemungkinan institusi perbankan bukan lagi Rp430 triliun sekian jumlahnya menjadi berkali-kali lipat kalau model penyelamatan Century diterapkan pada model penyelamatan 1997-1998, logikanya menjadi seperti itu," tuturnya.

Audit Badan Pemeriksa Keuangan atas Century menyimpulkan adanya ketidaktegasan Bank Indonesia terhadap bank milik Robert Tantular tersebut karena diduga mengubah peraturan yang dibuat sendiri agar Century bisa mendapat FPJP yaitu mengubah Peraturan Bank Indonesia (BPI) No 10/26/PBI/2008 mengenai persyaratan pemberian FPJP dari semula dengan CAR 8 persen menjadi CAR positif.

Dalam perkara Century, KPK baru menetapkan mantan Deputi Bidang IV Pengelolaan Devisa Bank Indonesia Budi Mulya sebagai tersangka pada 7 Desember 2012 yang akhirnya ditahan sejak 15 November 2013. Sementara mantan Deputi Bidang V Pengawasan BI Siti Chodijah Fajriah adalah orang yang dianggap dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Ismail Fahmi
Editor : Ismail Fahmi
Sumber : Newswires
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper