Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

MPR Minta Istilah Kepala Negara Tidak untuk Kepentingan Politik

Bisnis.com, JAKARTA - Sudah saatnya istilah Kepala Negara ditegaskan dalam sistem ketatanegaraan agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik mengingat istilah itu sering digunakan meski tidak terdapat dalam konstitusi.

Bisnis.com, JAKARTA - Sudah saatnya istilah Kepala Negara ditegaskan dalam sistem ketatanegaraan agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik mengingat istilah itu sering digunakan meski tidak terdapat dalam konstitusi.

Wakil Ketua MPR, Hajriyanto Thohari, mengatakan ada dimensi permainan politik selama ini ketika istilah tersebut digunakan dalam protokoler kenegaraan. Kerancuan itu, ujarnya, juga terjadi ketika menyebut status Ibu Negara yang juga tidak dikenal dalam konstitusi pasca amendemen 1999.

“Istilah Kepala Negara ke depan sebaiknay dipertegas saja dengan segala fungsi dan kewenangannya melalui Undang-undang,” ujar Hajriyanto dalam diskusi bertema “Perlukah Pemisahan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan?” di Gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Rabu (9/10/2013).

Selain Hajriyanto turut menjadi nara sumber dalam diskusi itu pengamat Hukum Tata Negara Saldi Isra dan Pimpinan Kelompok DPD di MPR, Marhany Victor Polypua.

Menurutnya, rujukan Kepala Negara selama ini lebih didasarkan pada nostalgia masa lalu yang sering mempersepsikan seorang presiden sebagai Kepala Negara. Padahal, dalam sistem pemerintahan presidensial, negara cukup dipimpin oleh seorang presiden, bukan Kepala Negara.

Menurutnya, dalam kaitan dengan sistem pemerintahan saat ini, juga perlu diwacanakan pemisahan antara Kepala Negara sebagai simbol dan Presiden atau Perdana Menteri sebagai pimpinan eksekutif yang menjalankan pemerintahan. Dia mengsulkan kalau seorang Kepala Negara beretnis Jawa maka Kepala Pemerintahan bisa berasal dari etnis yang berbeda, atau sebaliknya.

Sementara itu, Saldi Isra mengatakan pemisahan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan tidak bisa dilakukan tanpa melakukan amendmen Undang-undang dalam sistem pemerintahan presidensil. Dia pun mempertanyakan apakah Indonesia masih bisa bertahan dengan sistem pemerintahan presidensil seperti saat ini melihat berbagai dinamika politik yang terjadi.

Menurutnya, bukan tidak mungkin Indonesia menjalankan sistem parlementer tanpa mengubah konstitusi sebagaimana pernah diparktikkan pada akhir 1945 sampai 1955. Sistem presidensil secara teoritis membutuhkan figur nasional yang kuat dan bisa dijadikan muara akhir dari segala persoalan.  Sedangkan dalam sistem parlementer tidak diperlukan pemimpin kuat namun mampu mengelola pemerintahan dengan baik dan bisa diganti setiap saat.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Sepudin Zuhri
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper