Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pasar Berkembang Kian Mengkhawatirkan

Bisnis.com, MUMBAI—Volatilitas di pasar berkembang sepertinya masih jauh dari reda, seiring dengan anjloknya nilai tukar rupee India yang memecahkan rekor terendah dalam 2 dekade pada Rabu (28/8). Rupee terjun bebas ke level di bawah 69 per dolar

Bisnis.com, MUMBAI—Volatilitas di pasar berkembang sepertinya masih jauh dari reda, seiring dengan anjloknya nilai tukar rupee India yang memecahkan rekor terendah dalam 2 dekade pada Rabu (28/8).

Rupee terjun bebas ke level di bawah 69 per dolar Amerika Serikat, sementara nilai saham India tergelincir pada hari yang sama. Kondisi itu memanaskan kekhawatiran para investor akan melanjutkan aksi jual di negara berkembang yang dapat mengguncang pasar global.

Mata uang India terjungkal bersamaan dengan melambungnya harga minyak yang akan semakin memperburuk neraca berjalan dan menyeret perekonomian negara itu ke dalam krisis terburuk sejak 1991.

Pada saat bersamaan, AS, Prancis, dan Inggris tengah mempertimbangkan tindakan militer melawan rezim Suriah atas dugaan serangan senjata kimia terhadap kelompok oposisi. Hal itu berpotensi mengganggu suplai minyak dari kawasan Timur Tengah.

Ketegangan itu memburuk kondisi pasar berkembang yang telah banyak ditinggalkan investor seiring dengan spekulasi Federal Reserve akan mengurangi stimulusnya dalam waktu dekat.

Lonjakan harga minyak mentah Brent sebesar 8,9% bulan ini akan mendorong tingginya biaya bagi India, yang mengimpor hampir 80% minyak Brent.

“Pasar ketakutan dengan kemungkinan serangan AS terhadap Suriah. Pasar India sedang berada pada kondisi ‘super panik’,” jelas Samir Lodha, mitra senior di QuantArt Market Solutions Pvt.di Mumbai, Rabu (28/8).

Nilai tukar rupee merosot 3,1% menjadi 68,31 per dolar pada Rabu siang waktu setempat. Sebelumnya, rupee sempat tergelincir 3,9% menjadi 68,7 per dolar, atau yang terlemah sejak 1993.

Imbal obligasi pemerintah yang jatuh tempo Mei 2023 melejit 10 basis poin menjadi 8,96%. Suku bunga juga naik 52 basis poin pada Selasa (27/8). Saham lokal S&P BSE Sensex merosot 1,6% menjadi 17.684,45, setelah menyentuh rekor terbawah sejak September tahun lalu.

Kondisi mengkhawatirkan juga terjadi di Thailand, yang mana nilai tukar baht melemah 0,3% menjadi 32,28 per dolar. Imbal obligasi pemerintah bertenor 10 tahun naik 3 basis poin menjadi 4,33%, yang tertinggi sejak November 2009.

Negara berperekonomian terbesar kedua di Asia Tenggara itu juga diprediksi mengalami defisit transaksi berjalan senilai US$550 juta pada Juli.

Investor asing telah menjual saham Thai senilai US$1,2 miliar bulan ini, sementara aliran modal keluar di Indonesia dan Filipina masing-masing mencapai US$464 juta dan US$219 juta.

Padahal, ketiga pasar Asia Tenggara itu sempat memimpin rally dalam saham global hingga Mei, ketika pertumbuhan ekonomi domestik mendongkrak laba perusahaan ke rekor tertinggi dan stimulus the Fed mendorong investor untuk mencari aset yang lebih berisiko.

“[Saat ini] investor asing terlalu pesimistis terhadap Thailand. Banyak saham besar yang sangat atraktif dibandingkan dengan prospek pendapatan mereka,” ujar Yingyong Nilasena, Kepala Pejabat Investasi di Dana Pensiun Pemerintah Thailand.
 

Saham Rontok

Secara keseluruhan, pasar negara berkembang mengalami kemerosotan terbesar dalam 8 pekan terakhir, didorong oleh masalah capital outflow, isu Suriah, dan kenaikan harga minyak dunia.

Prospek ekuitas di Filipina, Thailand, dan India merosot setelah data-data menujukkan investor internasional menjual saham mereka pada Selasa (27/8). Sementara itu, saham PetroChina Co. dan Kunlun Energy Co. anjlok setelah anggota eksekutifnya keluar menyusul kampanye anti-korupsi di China.

Indeks pasar berkembang MSCI turun 0,8% menjadi 908,28 pada Rabu siang di Hong Kong, menandakan penurunan untuk hari kedua.

Memuncaknya ketegangan Suriah memaksa investor menarik modal senilai US$2,4 miliar dari India, Indonesia, Thailand, dan Filipina bulan ini, di tengah spekulasi pengurangan stimulus the Fed seiring dengan pulihnya ekonomi AS.

“Aset pasar berkembang masih bergejolak. Terdapat ketakutan global AS akan mengetatkan likuiditasnya dan belum lagi masalah politik di Suriah,” jelas Rico Gomez, money manager Rizal Commercial Banking Corp. di Manila. (Bloomberg/Reuters)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper