BISNIS.COM, JAKARTA -- Wakil Presiden Komisaris PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk, David, menegaskan penjualan 60% saham dan hak tagih sebesar US$14 juta kepada PT Tjiwi Kima dimaksudkan sebagai upaya penyelamatan perusahaan dari ancaman pailit.
“Penjualan 60% saham dan hak tagih sebesar US$14 juta kepada PT Tjiwi Kimia atau anak perusahaan PT Sinar Mas merupakan bagian dari penyelamatan manajemen perusahaan tas kerugian yang terjadi sejak tahun 2002,”ungkap David kepada Bisnis, Selasa (5/3/2013).
Penegasan itu disampaikan manajemen perusahaan industri kayu itu berkaitan dengan gugatan Deddy Hartawan Jamin yang memiliki 17% saham di perusahaan itu, melalui kuasa hukumnya Wahyu Hargono, menggugat tergugat I, PT Sumalindo Lestari Jaya TBK, tergugat II, Amir Sunarko, tergugat III, David, tergugat IV, Lee Yuen Chak, tergugat V, Ambran Sunarko, tergugat VI, Setiawan Herliantosaputro, tergugat VII, Harbrinderjit Singh Dillon, tergugat VIII, Husni Heron, Tergugat IX, Kadaryanto, tergugat X, PT Sumber Graha Sejahtera dan tergugat XI, Kantor Jasa Penilai Publik Benny, Desmar & Rekan.
Gugatan dilakukan berkaitan sengketa penjualan saham perusahaan tersebut kepada PT Tjiwi Kimia. Dalam gugatannya, penggugat mengklaim dirugikan atas tata kelola perusahaan yang buruk Direksi dan Komisaris perusahaan tersebut yang mendaftarkan perkara No.2/Pdt.G/2013 PN Jkt.Sel.
Langkah menjual saham dan hak tagih itu, katanya, sebagai bentuk penyelamatan perusahaan yang mengalami kerugian secara terus-menerus sejak 2002. Mulai tahun itu hingga kini perusahaan terpaksa menanggung kerugian sedikitnya Rp100 miliar per tahun.
"Kita tidak menyangkal pernah terjadi kenaikan ekspor industri kayu ke Amerika Serikat pada pada 2008 yang mencapai Rp1 triliun per tahun, tapi setelah itu sampai ekarang hanya sekitar Rp400 miliar saja,”ungkapnya.
Menurutnya, posisi keuangan manajemen perusahaan tersebut terpaksa mengambil langkah menjual saham dan hak tagih untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman pailit yang dilakukan mitra usaha perusahaan tersebut. “Paling tidak, upaya itu untuk mengurangi nilai kerugian yang selama ini terjadi terhadap perusahaan ini,”ungkapnya.
David menambahkan saat ini perusahaannya hanya mempekerjakan 500 karyawan dari 5000 karyawan yang sebelumnya bekerja di sejumlah pabrik industri kayu itu dan beberapa kantor perwakilan perusahaan di seluruh Indonesia. “Kami terpaksa merumahkan para karyawan karena memang tidak mampu membayar mereka karena kesulitan pasar perdagangan kayu internasional.”
Kesulitan usaha perdagangan kayu itu, katanya, dikarenakan distorsi daya saing produksi industri kayu di pasar internasional. Pemerintah melarang berbagai kegiatan dalam penjualan kayu, di antaranya tidak ada izin Kementerian perdagangan untuk menjual kayu berpenampang lebar dan sawn timber.
“Pengusaha industri kayu dipaksa untuk menjual kayu yang dicacah habis yang nilainya hanya US$550, padahal dengan kita menjual kayu berpenampang lebar atau sawn timber nilai jualnya mencapai US$3000. Ini yang menjadi penyebab bangkrutnya perusahaan industri kayu di Indonesia,”katanya.