Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

 

JAKARTA: Proses pemeriksaan atas gugatan yang dilayangkan Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) terhadap  PT Freeport Indonesia terkait kontrak karya yang dibuat antara perusahaan tambang emas tersebut dengan Pemerintah RI masih terus berlanjut di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
 
Pemeriksaan atas perkara tersebut saat ini telah memasuki tahap pembuktian atas eksepsi yang diajukan para tergugat yakni Kementrian ESDM, PT Freeport Indonesia, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
 
Dalam persidangan hari ini, Kementrian ESDM telah menyerahkan 17 bukti yang menguatkan eksepsi yang diajukannya. Dalam eksepsi para tergugat menilai penggugat tidak memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan. Sidang tersebut akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pembuktian dari para tergugat yang lainnya.
 
Ditemui seusai persidangan, kuasa hukum PT Freeport Indonesia Muhammad Farhan mengungkapkan alasan mengapa pihaknya tidak mengajukan bukti pada sidang, hari ini.
 
"Kami masih perlu waktu untuk melengkapi bukti. Pekan depan baru kami akan mengajukan bukti," katanya, hari ini.
 
Dia mengatakan dalam sidang lanjutan nanti pihaknya akan mengajukan bukti yang menguatkan eksepsi yang diajukannya. Selain mengenai legal standing, jelas Farhan, dalam eksepsi pihaknya juga menilai Pengadilan Negeri Jakarta selatan tidak berwenang memeriksa perkara.
 
"Sesuai perjajian disebutkan kalau terjadi sengketa penyelesaiannya harus diselesaikan di Badan Arbitrase Internasional," jelasnya. 
 
Sementara itu, kuasa hukum IHCS Anton Febrianto mengatakan eksepsi yang diajukan para tergugat tidak beralasan.
 
"Salah satu pasal dalam Kontrak Karya menyebutkan bahwa persidangan arbitrase dipilih apabila para pihak tidak menjalankan kontrak," katanya.
 
Sebelumnya, IHCS dalam gugatannya menilai tarif royalti yang dibayarkan Freeport bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45/ 2003 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
 
Hal tersebut merupakan kesepakatan yang terdapat dalam Kontrak Karya antara Freeport dengan Pemerintah RI yang dibuat sejak 1991. Menurut IHCS, kontrak tersebut secara ekonomi merugikan Indonesia.
 
Menurut hitungan IHCS total kerugian negara akibat pembayaran royalti dari Freeport yang lebih rendah dari ketentuan beleid PNBP itu sebanyak US$256,2 juta. Dalam gugatannya, IHCS menuntut biaya ganti rugi sebanyak Rp70 triliun. IHCS juga menuntut penghentian kegiatan pertambangan Freport. (sut)
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper