Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bu Siami, kemubaziran dan kemiskinan hati

Nasib Ibu Siami sungguh tragis. Ungkapan jujur Ibu yang anaknya dipaksa jadi sumber contekan massal pada ujian nasional di satu sekolah dasar di Surabaya itu malah berbuah hujatan mengerikan di kampungnya.

Nasib Ibu Siami sungguh tragis. Ungkapan jujur Ibu yang anaknya dipaksa jadi sumber contekan massal pada ujian nasional di satu sekolah dasar di Surabaya itu malah berbuah hujatan mengerikan di kampungnya.

Ibu yang berprofesi tukang jahit itu bukan hanya dihujat sebagai sok pahlawan, tapi ia dan keluarga diusir dari kampung tempat tinggalnya oleh para tetangganya.

Alih-alih usahanya menegakkan kebenaran dan mengajarkan kejujuran kepada sang buah hati mendapatkan sokongan, ia malah dicela sambil masyarakat dan para orangtua murid di sekolah ituberdalih bahwa nyontek adalah hal yang sudah biasa dilakukan para siswa.

Naudzubillah. Terenyuh dan sedih saya mendengar dalih itu. Bukankah itu sama dengan mengatakan: Nggak papa, curang itu sudah biasa dan halal di negeri kita.

Waladalah. Menyedihkan sekali. Apakah ini tanda-tanda bangkrutnya keteladanan bahkan peradaban di negeri ini?

***

Masyarakat, sebagian besar barangkali, mungkin sudah biasa atau setidaknya menganggap biasa cara hidup jalan pintas, tidak peduli proses tetapi gamang dengan orientasi hasil. Di antara kita, barangkali banyak yang sudah bebal dengan outcome, tetapi lebih banyak mengutamakan output.

Yang menyedihkan, masyarakat pendidikan kita tampaknya sudah sangat mengutamakan predikat kelulusan atau angka yang diperoleh, ketimbang penguasaan esensi ilmu dan pengetahuan, pemahaman, apalagi skill.

Karena itu mencontek dianggap sebagai hal biasa demi kelulusan. Padahal, contek mencontek di sekolah adalah praktik curang yang akan tertanam menjadi bibit subur praktik korupsi di kemudian hari.

Apalagi contek massal yang bahkan dilembagakan dan direstui demi sekolah yang mengejar target lolos ujian nasional.

Sebagian kita mungkin sudah lupa dengan apa yang dapat dan seharusnya dilakukan, tetapi lebih mementingkan apa yang didapatkan tanpa peduli apakah mendapatkannya dengan menginjak hak orang lain, mengobrak-abrik sistem dan norma kewajaran, atau bahkan memutarbalik dan melawan nilai-nilai kebenaran.

Jadilah, ketika ada yang berteriak kesakitan karena kakinya terinjak, justru mukanya ditonjok oleh penginjak kaki, bahkan dihujat secara massal oleh kolaborasi para penginjak kaki.

Maka saya setuju sekali dengan kutipan di sejumlah media beberapa hari belakangan ini: (Sebagian besar) Masyarakat kita sakit. Bukan sakit jasmani tapi sakit hati alias kanker rohani.

***

Lantas orang bertanya: Ada apa dengan pranata sosial kita?

Untuk sekadar contoh, bagaimana mungkin sebuah partai besar yang mengusung jargon perang melawan korupsi dengan gampangnya disusupi atau bahkan sengaja menyusupkan diri secara sistematis dengan praktik politik blantik sapi yang begitu mengerikan?

Bagaimana bisa terjadi di tengah upaya yang diteriakkan punggawa tertinggi negeri untuk memerangi korupsi, tetapi infrastruktur politik penyokong utamanya justru memberikan contoh terbaik praktik korupsi?

Lantas pula, bagaimana berharap penegakan hukum terjadi manakala aktor pengadilan yang seharusnya menjadi juruadil masih tetap juga, bahkan semakin mencolok, dapat terbeli?

Maka tak heran kalau kita bisa lihat setiap hari; mulai dari sistem politik, sistem hukum, dan praktik bisnis begitu hiruk pikuk dengan sikap mental negatif yang berujung pada praktik-praktik penyalahgunaan, rekayasa miring, patgulipat, manipulatif, bahkan hingga pada level yang lebih menyeramkan: koruptif eksploitatif.

Setuju tidak setuju, maafkan saya kalau menuduhkan hulu dari semua ini pada sistem pendidikan kita, baik di sekolah ataupun di rumah, formal dan informal, yang keduanya secara simultan saling memengaruhi.

Bagaimana berharap kita memiliki punggawa negara yang baik kalau kelulusan di sekolahnya adalah hasil nyontek yang direstui? Bagaimana berharap penegak hukum yang berintegritas jika sekolah mengajarkan ketidakjujuran dan jalan pintas, bukan komitmen dan integritas?

Bagaimana pula berharap kompetensi sumberdaya manusia yang unggul jika skor nilai rapor atau ijazah di sekolah bisa dibeli?

Maka, etika, norma dan aturan main di sekolah menjadi jauh lebih mendesak untuk dibenahi ketimbang cuma mengutak-atik bujet agar semakin hari semakin buncit saja.

Saya justru prihatin, bujet pendidikan yang besar sekarang ini justru bumerang yang menumbuhsuburkan praktik korupsi di sistem pendidikan kita.

Bagaimana bisa dimengerti dengan anggaran pendidikan yang semakin tambun, tetapi biaya sekolah justru semakin berjibun? Apakah masuk di akal tatkala alokasi APBN untuk pendidikan sekarang berjumlah sudah lebih dari Rp200 triliun, sekolah negeri malah jor-joran berlomba-lomba antri menjadi sekolah termahal?.

Apalagi, pernah teridentifikasi bahwa di dalam alokasi bujet pendidikan, sekitar 20%-25% diantaranya tak terkelola dengan baik bahkan tidak benar-benar dapat dipergunakan demi kemaslahatan, antara lain untuk gonta-ganti kendaraan dinas atau membiayai perjalanan dinas.

Maka, masuk akal ketika menteri keuangan pernah melontarkan ide untuk memanfaatkan sekitar Rp60 triliun anggaran pendidikan sebagai dana abadi untuk beasiswa nasional.

Wah, Rp60 triliun? Waladalah. Kalau itu benar, berarti anggaran pendidikan 20% seperti amanat amandemen konstitusi selama ini adalah sumber pemborosan nasional? Izikan saya bersepakat dengan kiai Fulan yang mengatakan: Itu kemubaziran nasional

***

Potret pendidikan nasional, sebagai sarana produksi norma sosial dan perilaku individu masyarakat kita, tampaknya telah sedikit banyak menyumbang terbentuknya sistem sosial yang bopeng.

Biaya pendidikan yang mahal, ditemani absennya pelajaran budipekerti, telah melahirkan para robot profesional di banyak bidang dan profesi pekerjaan.

Potret bopeng itu tampak tidak hanya di jalur politisi dan birokrasi, tetapi bahkan hampir di semua profesi.

Maka, dampak agregasinya adalah tingginya biaya sosial-ekonomi dan demokrasi di negeri ini. Di jalur politisi, bukan rahasia lagi politik blantik sapi telah melipatgandakan ongkos demokrasi dan inefisiensi ekonomi.

Di birokrasi, terlebih jika tatkala lulus sekolah pun harus mengeluarkan sejumlah ongkos --alias nyogok--untuk mendapatkan pekerjaan, maka jangan berharap masyarakat akan memperoleh layanan publik yang murah dan menyenangkan.

Contoh paling mudah adalah saat Anda mengurus KTP, SIM, atau berurusan dengan layanan pemerintah lainnya untuk satu dan lain kebutuhan. Layanan publik yang murah, ramah dan nyaman rasanya masih menjadi barang mewah. Pasalnya, para profesionalnya bekerja sebagai robot agar modalnya kembali ketimbang bekerja dengan hati yang melayani.

Maka saya pun langsung manggut-manggut ketika tiba-tiba kawan bincang-bincang saya bilang: Kita ini masih (atau makin) mengalami kemiskinan hati. Lha, iya juga ya, pikir saya. Bagaimana menurut Anda? ([email protected])

Oleh Arief budisusilo, Wartawan Bisnis Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Adam A. Chevny
Editor : Mursito

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper