Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Haidar Bagir : Bukan sekadar bisnis

JAKARTA: Mizan Publishing dikenal sebagai salah satu penerbit buku produktif di Indonesia. Penerbit ini jeli menerbitkan karya-karya penulis lokal potensial, seperti Andrea Hirata dengan trilogi Laskar Pelanginya yang laku keras di pasaran termasuk juga

JAKARTA: Mizan Publishing dikenal sebagai salah satu penerbit buku produktif di Indonesia. Penerbit ini jeli menerbitkan karya-karya penulis lokal potensial, seperti Andrea Hirata dengan trilogi Laskar Pelanginya yang laku keras di pasaran termasuk juga ketika difilmkan. Tak hanya itu, beberapa film lainnya seperti Garuda di Dadaku, Sang Pemimpi juga mencapai angka penjualan yang fantastis. Haidar Bagir adalah sosok di balik penerbit yang telah berdiri selama 27 tahun ini. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana awalnya Anda terjun ke bisnis ini?

Menulis dan membaca adalah dua hal yang saya sukai. Ketika mahasiswa, saya aktif di Mesjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB), di situ saya mencurahkan hobi itu. Beberapa kali tulisan saya terbit di lembar khusus mahasiswa di harian Pikiran Rakyat.

Semasa di kuliah itulah saya melihat peluang bisnis bagi intelektual muslim kelas menengah, anak-anak dari keluarga santri dan bangsawan, yang diberi kesempatan mengenyam pendidikan moderen mulai muncul.

Kelompok muslim kelas menengah ini nantinya akan membutuhkan bacaan. Saya melihat potensi ini dan memutuskan membuat penerbitan buku-buku Islam.

Pada 1983, bersama beberapa kawannya yaitu Ali Abdullah dan Zainal Abidin Shahab, kami mendirikan penerbitan buku Mizan, yang berarti berimbang dan obyektif. Arti nama itu kemudian dijadikan prinsip penerbitan Mizan, yang tidak memilah buku berdasarkan latar belakang penulis, tetapi lebih pada isi tulisannya.

Salah satunya saat Mizan meluncurkan sebuah karya yang ditulis oleh seorang pastor. Meski Mizan dikenal sebagai penerbit buku-buku Islam, tetapi karena tulisan sang pastor bagus, maka kami terbitkan.

Apa napas baru yang diusung Mizan dalam menerbitkan buku Islam kala itu?

Sebelum Mizan lahir, pada era itu sudah muncul beragam penerbit yang bernapaskan islam di antaranya adalah Bulan Bintang dan Tinta Emas. Tak mudah masuk dan mendapatkan tempat di hati pembaca yang sudah disuguhkan bacaan bernuansa islam.

Namun, saya dan teman-teman tidak patah arang. Bersama-sama kami memikirkan ide-ide baru agar buku hasil terbitan Mizan bisa diterima. Bahkan saya sampai merekrut sarjana Seni Rupa ITB yang dikenal sebagai pelukis.

Perwajahan buku dibuat semenarik mungkin, pemilihan sampul, huruf, gata bahasa, tata bahasa dan ejaan sangat diperhatikan. Untuk membedakan dengan penerbit lainnya, kami juga mulai menggunakan indeks yang sangat jarang dipergunakan. Jadi, bukan sekadar menyajikan isi buku tetapi juga bagaimana buku itu bisa disajikan. Hingga lahirlah buku terbitan Mizan yang fenomenal pada waktu itu yang berjudul Dialog Sunnah-Syiah.

Dengan cara itu, Mizan cepat sekali diterima oleh pangsa pasar yang dituju. Beberapa tahun kemudia, kami mulai merambah ke penerbitan buku anak. Sejak 1990-an, kami mulai menjajaki menerbitkan buku-buku umum. Saat ini Mizan sudah tidak bisa disebut sebagai penerbit buku Islam karena sudah menerbitkan buku dari beragam kategori.

Bagaimana kondisi persaingan di industri penerbitan saat ini?

Cukup ketat, jauh lebih ketat dibandingkan dengan 5-10 tahun lalu. Suatu gejala yang bagus dan kami sangat senang akan itu. Ini menunjukkan minat dan daya baca masyarakat Indonesia itu meningkat. Jumlah buku yang diterbitkan juga meningkat hingga sepuluh kali lipat.

Jika dilihat dari idealisme, ini menunjukkan minat dan daya baca masyarakat semakin tinggi sekaligus merupakan tanggung jawab penerbit manapun untuk menjaga kualitas buku-buku yang diterbitkannya.

Dari sisi bisnis, terjadi pembesaran ukuran pasar pembaca dan pembeli buku. Sebenarnya persaingan itu tidak selalu merugikan. Persaingan yang baik menyebabkan ukuran pasar membesar, tinggal bagaimana mengolahnya secara kreatif.

Penulis-penulis lokal yang berkualitas juga terus bermunculan saat ini, menambah semarak bisnis penerbitan.

Banyak penulis mengeluhkan royalti mereka. Bagaimana Mizan menyikapi ini?

Saya bersimpati kepada penulis karena sudah royaltinya kecil, masih kena pajak. Apalagi di Indonesia ini jarang sekali ada buku yang laku sampai puluhan atau ratusan ribu. Buku-buku itu biasanya paling laku 3.000-5.000 eksemplar, kalau best seller bisa mencapai 10.000-20.000 eksemplar. Jatuhnya, hitungan royaltinya kecil.

Namun, banyak pihak yang menilai bahwa kecilnya pendapatan yang diraih penulis karena penerbit ambil untung besar. Hal ini yang kadang tidak dipahami penulis, bahwa keuntungan penerbit antara 10%-12%, persis menyamai royalti penulis. Angka itu [10%-12%] juga lazim diterapkan oleh penerbit lainnya di berbagai negara.

Ok, sekarang saya jelaskan hitung-hitungannya. Dari sebuah buku yang diterbitkan, komponen biaya yang dikeluarkan adalah untuk distributor 47,5%-50%, penulis 10%, pembuatan buku hingga 20%. Berarti sudah 80%, belum lagi buku-buku yang tidak laku dan ada di gudang.

Setiap penerbit pasti punya gudang dengan buku-buku yang tidak laku. Setiap tahun kami pasti right off untuk buku yang sudah terlalu lama di gudang. Kami anggap sudah tidak menghasilkan pendapatan alias kerugian.

Pemerintah semestinya mulai memikirkan menghapuskan pajak kepada penulis atau harga kertas bebas dari pajak. Bahkan di negara lain ada voucher reimburse untuk penerbit. Jadi, penerbit bisa minta penggantian ongkos produksi kepada pemerintah. Kebijakan itu bukan untuk mengejar keuntungan besar melainkan membuat buku semakin laku. Harga buku menjadi murah sehingga lebih mudah diakses masyarakat.

Berapa unit usaha yang dimiliki Mizan saat ini?

Dengan perkembangan Mizan yang saat ini sudah berusia 27 tahun, kami sudah memiliki tujuh unit usaha terpisah di bawah bendera PT Mizan Publika yang merupakan perusahaan induk. Di antaranya adalah Mizan Productions yang memproduksi beberapa film yang cukup fenomenal yaitu Laskar Pelangi, Garuda di Dadaku, Emak Ingin Naik Haji dan yang terakhir Rindu Purnama.

Tidak ada rencana mendirikan toko buku?

Buku-buku terbitan Mizan memang banyak yang dipasarkan di toko buku seperti Gramedia, Gunung Agung dan lainnya. Sebetulnya kami sudah mempunyai toko buku tetapi belum terpikir menjadikan toko buku sebagai satu unit yang terpisah.

Namun, kami merintis 10 toko buku kecil semata-mata untuk menyalurkan buku-buku Mizan tetapi bukan sebagai bisnis toko buku terpisah. Toko terbesar adalah MP Book Point berlokasi di Puri Mutiara Raya. Bagi kami, toko buku itu bukan semacam saingan Gramedia melainkan menambah outlet pemasaran buku-buku terbitan Mizan.

Kami berencana mempersiapkan digital publishing sebagai jalur lain pendistribusian buku. Nanti buku-buku Mizan bisa diakses melalui iPad, Samsung Galaxy Tab, perangkat smartphone, low end handheld hingga IPTV. Digital publishing akan dirilis pada Maret tahun ini.

Apa motivasi Anda mendirikan Mizan Productions?

Mizan itu didirikan bukan hanya sekadar bisnis tetapi juga saran dakwah, bukan dalam arti sempit. Dakwah itu artinya memperbaiki keadaan dan Insya Allah semua orang tahu. Bagi saya berdakwah itu artinya sebagai muslim ikut memperbaiki kondisi lingkungan di mana pun kita hidup dan dalam hal apapun. Kami merasa bahwa dakwah perlu diperluas ke media film dan televisi.

Dampak dan jangkauan media audiovisual itu lebih luas. Buku memang penting namun biasanya dibaca oleh pemikir atau orang-orang yang serius. Mereka yang berperan menyebarkan pengaruh ke masyarakat. Bioskop, film, dan televisi itu dampaknya langsung ke masyarakat umum. Dilihat dari segi bisnis, Mizan Productions merupakan diversifikasi karena Mizan bertransisi sebagai penerbit informasi dari segala jenis media.

Jauh sebelum memproduksi Laskar Pelangi, kami sudah membuat unit Mizan Cinema, yang memproduksi acara di beberapa stasiun televisi swasta. Penerbit buku ini sebetulnya adalah penerbit informasi. Buku cetak itu adalah medianya.

Belakangan kami mengubah definisi usaha, bukan lagi sebagai penerbit buku melainkan penerbit informasi yang bisa menggunakan media atau device bermacam-macam.

Apakah Mizan Productions ini sudah memberikan keuntungan?

Sudah, namun tidak terlalu besar karena sebenarnya bisnis film di Indonesia belum terlalu menguntungkan dan berisiko. Begitu besarnya risikonya, bank tidak mau kasih kredit untuk film bioskop, film televisi masih mungkin. Film Indonesia kalah pamor dengan film Hollywood. Kita tahu sendiri film Indonesia sekarang tentang hantu, pocong atau seks murahan yang justru menghancurkan reputasi film Indonesia di mata masyarakat. Alhamdulillah kami masih untung meskipun sama sekali tidak untung besar.

Dengan kondisi seperti itu, Anda tetap ingin menekuni bisnis perfilman?

Pertama, tidak ada bisnis yang mudah. Tidak ada orang mencapai keberhasilan bisnis dengan cara mudah. Kami belum menyerah dan mudah-mudahan selamanya tidak menyerah. Kami akan mencoba terus. Jadi, belum waktunya. Lagipula kami kasih bisa menyisakan keuntungan.

Kedua, kami punya tanggung jawab. Kami ingin membuktikan sebagai produsen yang produktif namun berkualitas. Tahun ini kita akan bikin empat film dan semuanya Insya Allah berkualitas. Kami mempunyai tanggung jawab dan semangat dakwah dalam arti luas. Saya mau membuktikan dengan kerja keras dan serius, Insya Allah Mizan bisa hidup dari bisnis film.

Di samping itu ada tujuan bisnis lain, yakni menjadi basis bagi kami untuk masuk ke televisi. Kalau orang tahu Mizan menghasilkan film berkualitas dan laku, kami berharap televisi yang tidak mudah ditembus, terutama ada stasiun televisi yang bikin production house sendiri, dianggap lebih efisien. Jika Mizan punya image yang bagus, Insya Allah pintu masuk industri teelvisi lebih dibuka.

Bagaimana cara Anda bertahan di bisnis ini?

Perusahaan di zaman sekarang, terutama bisnis kreatif, pendekatannya harus ke karyawan, yakni empowering. Zaman sekarang ini kunci kesuksesan orang itu pada kreativitas dan ide. Kreativitas dan ide itu tidak akan muncul jika tidak empower karyawan. Kita harus percaya pada networking, organisasi yang tidak hierarki, prinsip keadilan, dan demokratisasi.

Di Mizan ini Insya Allah, anak buah tidak takut dengan pimpinan. Kami tidak pernah membuat batasan pimpinan dengan anak buah. Saya percaya jika suasana kerja tidak menyenangkan dan stressful, ide dan kreativitas itu akan sulit keluar. Sebuah perusahaan zaman sekarang sulit berkembang kalau tidak berusaha menghimpun ide dan seluruh gagasan dari karyawan.

Alhamdulillah, juga tidak ada kesenjangan gaya hidup yang luar biasa antara pimpinan dengan karyawan. Tentu pimpinan punya lebih banyak uang dari office boy. Namun, tidak ada sesuatu yang menunjukkan pimpinan hidup bermewah-mewah. Kami upayakan perbandingan gaji karyawan terendah dengan direktur utama itu berbanding 1:13 sampai 1:15. Demikian standarnya.

Saya suka malu kalau karyawan tidak diperhatikan tetapi perusahaan selalu mendorong mereka untuk bekerja keras. Caranya macam-macam untuk memastikan gaji mereka cukup. Kami punya dana sosial yang dikumpulkan dari seluruh pimpinan untuk karyawan kalau ada keluarganya sakit, sekolah tidak punya uang, dan lain sebagainya.

Dananya sukarela tapi saya yang mengambil keputusan. Memang sempat timbul protes, tapi kita coba jelaskan tujuannya apa. Alhamdulillah kita bisa mengumpulkan sekitar Rp100 juta di kas yang bisa digunakan jika sewaktu-waktu ada karyawan membutuhkan, misalnya sakit.

Di Mizan ini 30% keuntungan dinikmati karyawan. Kami mengusahakan nanti bisa 40% keuntungan dinikmati karyawan. Pada awal Mizan berdiri, sekitar 20% keuntungan dibagikan ke karyawan. Ketika Mizan ulang tahun ke-25, kami membagikan 10% saham kepada karyawan senior. Jadi sudah 30% keuntungan dibagikan ke karyawan.

Saya punya keinginan mau jual 10% saham dan karyawan bisa membeli dengan bonus atau saham mereka. Kalau gajinya cukup, mereka bisa sisihkan bonus atau dividen yang diterima untuk mencicil lagi beli saham. Ini baru rencana.

Kami berharap pelan-pelan perusahaan ini dikuasai karyawan. Kalau sudah begitu, saya lebih punya keberanian moral untuk ngomong supaya mereka kerja yang benar. Karena mereka langsung menikmati hasilnya.

Itu kan strategi internal, bagaimana dengan strategi eksternal?

Kami berusaha menjadi learning organization, perusahaan yang belajar dan menghasilkan ide-ide baru, inovasi, dan kreativitas baru. Sebenarnya tidak ada resep untuk bertahan di dalam persaingan yang begitu ketat. Kalau udah punya ide dan inovasi, strategi marketing bisa diubah.

Bagaimana keterlibatan anak Anda dalam bisnis?

Saya mengajak anak tertua saya untuk bergabung namun sebagai karyawan biasa, dengan gaji setara staf. Alasan saya memperlakukannya seperti itu, pertama dia harus belajar. Kedua, dia harus membuktikan kemampuannya.

Kalau dia langsung jadi pemimpin, perusahaan bisa kacau. Dia juga rugi karena perusahaan tidak bisa ngasih keuntungan besar untuk dia dan karyawan. Jika suatu saat ikut memiliki perusahaan itu, dia dipaksa jadi pemimpin ternyata tidak mampu, yang rugi perusahaan. Keuntungan berkurang. Jadi dia harus mulai dari bawah.

Saya sebagai ayah, saya yakin dengan kemampuan dia. Tapi biar dia buktikan dari bawah. Dia ditaruh di unit digital publishing karena sesuai dengan latar pendidikan IT business.

Bertahan selama 27 tahun menjadi pebisnis, apa visi dan misi Anda dalam menjalani hidup?

Jawabannya ibarat seorang anak ditanya apa cita-citanya, yakni berguna untuk bangsa, negara, dan agama. Bagaimana hidup ini bermanfaat dan layak, serta kelayakan hidup itu bermanfaat bagi orang lain.

Dari dulu saya percaya bahwa pendidikan, entah pendidikan formal atau penciptaan dan penyebaran informasi berkualitas lewat buku dan film merupakan pangkal dari seluruh upaya memperbaiki kondisi lingkungan kita. Umpamanya, ada benang ruwet dan mau diuraikan, kita harus cari pangkalnya, ya pendidikan.

Kurangnya pendidikan menyebabkan buruknya kondisi lingkungan kita. Jika ingin memperbaiki lingkungan kita, yang sudah pasti semua orang sepakat adalah memulai memperbaiki kualitas pendidikan masyarakat kita.

Saya juga seorang dosen dan selalu menyempatkan diri mengajar di sela-sela kesibukan. Saya ingin memberikan sumbangan pada kualitas lulusan perguruan tinggi kita. Saya juga sesekali mengajar di SMA Lazuardi GIS yang didirikan bersama teman-teman salah satunya Alwi Shihab.

Selain itu, saya sama sekali tidak pernah terlintas untuk memasuki dunia politik. Jika saya ingin mati cepat, saya masuk politik.

Mengapa Anda tidak tertarik dengan politik?

Arvan Pradiansyah pernah menulis buku berjudul Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi. Nah, itu gue banget. Saya terheran-heran ada orang yang mati-matian ingin jadi politisi. Saya pernah dihubungi oleh partai sana-sini, tetapi saya sama sekali tidak tertarik. Bukannya saya idealis atau intelektual tetapi saya memang tidak tertarik sama sekali dengan politik.

Saya juga bukan orang pemberani yang bisa ikut ICW. Saya kagum sekali dengan ICW. Setiap orang berbeda latar belakangnya. Saya merasa paling bisa memberikan manfaat kepada orang lain melalui pendidikan.

Saya mempunyai yayasan sosial bernama Yasmin dengan kegiatan 100% pendidikan. Kami mempunyai sekolah-sekolah gratis di Ciseeng, Gandul dan beberapa sanggar di berbagai tempat. Murid-muridnya adalah anak-anak dhuafa dan mereka diajarkan pelajaran bahasa Inggris, komputer, dan bimbingan belajar. Kami juga menyediakan terapi gratis untuk anak berkebutuhan khusus.

Kami juga punya program micro finance, yang ditujukan kepada orang tua anak dhuafa yang belajar di sekolah gratis. Kami punya klinik dimana anak-anak itu dapat asuransi berobat gratis. Biaya yayasan ini dari bisnis penjualan barang bekas. Kami punya kantor sendiri, toko barang bekas cukup besar di Cirendeu, ada 2-3 tempat barang bekas sendiri dan punya saham di suatu penerbit kecil. Dari situ kita dapat dana dan itu 100% untuk pendidikan.

Apa yang ingin Anda selanjutnya?

Apa yang masih ingin saya lakukan, saya ingin memperbesar kegiatan-kegiatan dimana saya terlibat itu. Bagaimana Mizan menjadi lebih besar dengan begitu memberikan dampak yang lebih besar kepada masyarakat. Saya juga ingin mengembangkan jaringan sekolah kemana-mana termasuk ke luar negeri. Saya ingin mengembangkan yayasan ini lebih besar supaya dampaknya dirasakan masyarakat. Yang tidak kalah penting bagaimana kegiatan ini tidak besar sendiri melainkan menginspirasi.

Kalau secara pribadi saya ingin suatu saat bisa lebih konsentrasi pada pemikiran dan riset. Bidang saya kan filsafat, jadi pengen nulis buku lebih serius. Karena itu saya terpikir ingin meninggalkan Indonesia beberapa waktu terlibat di satu universitas di luar negeri. Jadi konsentrasi ngajar, riset, nulis buku.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : News Editor
Editor : Mursito

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper