Kabar24.com, JAKARTA - Upaya Setya Novanto memohon perlindungan ke sejumlah pihak berbalas penolakan, salah satunya dari Jaksa Agung RI HM Prasetyo.
Jaksa Agung HM Prasetyo menolak permohonan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Setya Novanto yang meminta perlindungan hukum dalam kasus dugaan korupsi KTP elektronik (KTP-e).
"Memang Setya Novanto membuat surat kepada Kejaksan Agung (meminta perlindungan hukum), tapi saya ingin sampaikan Jaksa Agung dan Kejaksaan tidak punya kapasitas memberikan perlindungan," kata Prasetyo di Jakarta, Jumat (24/11/2017).
Perlindungan yang dimaksud, kata dia, kepada seseorang yang sedang mengalami proses hukum dan pihaknya tidak akan mencampuri proses hukum yang sedang dilakukan oleh aparat penegak hukum lain.
Dikatakan, kejaksaan punya asumsi bahwa mereka [penyidik KPK] mempunyai bukti-bukti. "Jadi kalau minta perlindungan Kejaksaan, sekali lagi kita tidak punya kapasitas seperti itu," ucapnya, menegaskan.
Terkait Setya Novanto yang mengajukan praperadilan kembali, Prasetyo menegaskan persoalan itu bukan wilayah Kejaksaan karena yang menangani perkara itu adalah KPK. "Jadi yang dituntut kan KPK," katanya.
Baca Juga
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengingatkan Ketua DPR Setya Novanto agar mengikuti aturan yang ada pascaditahan KPK karena menjadi tersangka kasus KTP elektronik, meski Setnov mengaku meminta perlindungan kepada Presiden.
"Saya kan sudah menyampaikan pada Pak Setya Novanto untuk mengikuti proses hukum yang ada, sudah," kata Presiden seusai Pembukaan Simposium Nasional Kebudayaan 2017 di Jakarta, Senin.
Pada Senin dini hari, saat akan masuk ke Rutan KPK, Setnov dengan berbalutkan rompi jingga mengatakan sudah minta perlindungan dari Presiden Jokowi.
"Saya sudah melakukan langkah-langkah dari mulai melakukan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) di Kepolisian dan mengajukan surat perlindungan hukum kepada Presiden, maupun kepada Kapolri, Kejaksaan Agung dan saya sudah pernah praperadilan," kata Setnov.
Terkait pergantian ketua DPR setelah penahanan Setnov, Presiden juga menyerahkan kepada aturan yang berlaku.
"Di situ kan ada mekanismenya, untuk menonaktifkan pimpinan lembaga negara, lembaga tinggi negara kan ada mekanismenya. Jadi ya diikuti saja mekanisme yang ada, aturan-aturan yang ada," ungkap Presiden.