Kabar24.com, LONDON - Perdana Menteri Inggris Theresa May akan mengajukan 'surat cerai' Brexit pada Rabu (29/3/2017).
Dia menyatakan kepada Presiden Dewan Uni Eropa Donald Tusk, bahwa Inggris benar-benar berhenti dari blok itu, yang bergabung pada tahun 1973.
Pasca-pengajuan surat tersebut, May memiliki waktu setidaknya dua tahun sebelum akhir Maret 2019 untuk memenuhi segala persyaratan Brexit.
May menutukan, pihaknya akan segera memberi tahu anggota parlemen terkait 'surat cerai' Brexit tersebut.
“Ketika saya duduk di meja perundingan bulan depan, saya akan mewakili setiap orang di seluruh Inggris Raya - muda dan tua, kaya dan miskin, baik kota, semua desa dan dusun,” jelasnya.
Menjelang Brexit, May merasakan beban yang cukup berat sejak menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris, saat itu negaranya menghadapi tuntutan Skotlandia yang ingin lepas dari negeri Ratu Elizabeth.
Pada saat yang sama, pihaknya tengah melakukan pembicaraan yang cukup sulit dengan 27 negara Uni Eropa terkait keuangan, perdagangan, keamanan dan sejumlah isu kompleks lainnya.
Hasil negosiasi itu yang akan membentuk masa depan ekonomi Inggris senilai US$2,6 triliun, terbesar kelima di dunia dan memastikan apakah London dapat mempertahankan posisinya sebagai salah satu dari dua pusat keuangan global.
Bagi Uni Eropa, yang telah pulih dari krisis berturut-turut atas utang dan pengungsi, hilangnya Inggris adalah pukulan terbesar selama 60 tahun yang menimpa persatuan Eropa pasca perang dunia.
Kendati menyesal dengan sikap Inggris, negara-negara di Uni Eropa tidak akan memusuhi Inggris. Namun, sikap nasionalis Inggris itu dinilai memicu pertumbuhan partai anti-Uni Eropa di seluruh blok.
Tak hanya itu, keputusan Brexit yang dilakukan Inggris selaku salah satu negara yang menjadi pusat ekonomi Global membuat gundah bank-bank besar yang ada di negara tersebut.
Beberapa bahkan mempersiapkan untuk memindahkan sejumlah besar staf dari London, Jerman dan Prancis menuju New York, karena beberapa bisnis yang saat ini dilakukan di London secara alami juga kembali ke markas AS.
Tak ketinggalan, HSBC, UBS dan Morgan Stanley juga telah memutuskan untuk pindah, yang masing-masing memiliki sekitar 1.000 staf dari London dalam dua tahun ke depan.
Bagi para bankir, industri jasa keuangan bank memang mendapat perlakukan istimewa di Inggris.
Hal itu didapatkan sejak deregulasi keuangan Perdana Menteri Margaret Thatcher yang memicu ekspansi besar-besaran industri 31 tahun silam, sehingga para bankir mengandalkan ekonomi Inggris untuk menjadi lokomotif pergerakan industri tersebut.
Akan tetapi, masa emas dunia perbankan akan mulai berakhir sejak Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa.
Jika Brexit berjalan lancar, Theresa May berjanji agar kebangkitan industri dan membangun ekonomi yang bekerja untuk semua orang, bukan hanya elite.
Perlu diketahui, berdasarkan London Corporation pada tahun lalu, industri keuangan Inggris menyumbang rekor 71,4 miliar pound (US$ 88,7 miliar) dalam perusahaan dan karyawan pajak kepada pemerintah.
Jumlah tersebut sama besar dengan pengeluaran tahunan Inggris untuk pendidikan dasar, polisi, dan tentara.
Atau dengan kata lain, jasa keuangan memberikan kontribusi hampir sama dengan pajak karena semua pembayar pajak di Skotlandia dan Wales digabungkan.
Meskipun Menteri Keuangan Junior Lucy Neville-Rolfe telah berusaha meredakan ketegangan dengan mengatakan bahwa bank-bank akan menjadi salah satu prioritas dalam pembicaraan perceraian Uni Eropa.
Tapi, bank-bank di Inggris sedang merencanakan untuk kemungkinan terburuk.
Masalah potensial untuk Inggris adalah bahwa setelah deregulasi Thatcher, banyak perusahaan keuangan dibeli oleh AS. Perusahaan-perusahaan ini tidak memiliki kesetiaan nasional ke Inggris.
Neil Dwane, ahli strategi global Allianz Global Investors, mengatakan sebagian besar pengambil keputusan besar di London, di luar asuransi, adalah Amerika atau Swiss.