Bisnis.com, JAKARTA — Fakta-fakta terkait dengan kasus korupsi pengadaan laptop Chromebook untuk program Digitalisasi Kemendikbudristek mulai terkuak.
Permulaan kasus tersebut bahkan dimulai sejak Nadiem Makarim belum menjabat menjadi Mendikbudristek dan baru terkuak tahun ini.
Abdul Qohar yang menjabat sebagai Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejagung saat menyampaikan bahwa perkara ini bermula saat Nadiem Makarim belum dilantik menjadi Mendikbudristek.
Kala itu, mantan Stafsus Mendikbudristek, Jurist Tan (JT) dan Fiona Handayani (FH) membuat grup WhatsApp bernama "Mas Menteri Core Team" untuk membahas rencana pengadaan untuk program digitalisasi pendidikan pada Agustus 2019.
Pengadaan sejumlah alat penunjang pendidikan itu bakal terealisasi apabila Nadiem Makarim (NAM) dilantik menjadi Menteri pada Oktober 2019.
"Grup Whatsapp bernama 'Mas Menteri Core Team' yang sudah membahas mengenai rencana pengadaan program digitalisasi pendidikan di Kemendikbudristek apabila nanti NAM diangkat," ujar Qohar di Kejagung, dikutip Kamis (17/7/2025).
Baca Juga
Setelah Nadiem dilantik, Jurist Tan kemudian mewakili menteri untuk membahas teknis pengadaan TIK menggunakan ChromeOs dengan Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) pada Desember 2019.
Selanjutnya, Jurist menghubungi Ibrahim Arief (IBAM) dan YK dari PSPK untuk membuatkan kontrak kerja. Kontrak kerja itu ditujukan untuk IBAM sebagai pekerja PSPK menjadi konsultan teknologi di Kemendikbudristek.
Tugas IBAM yaitu berhubungan dalam membantu pengadaan TIK Kemendikbudristek menggunakan ChromeOs. Setelah itu, Jurist dan Fiona memimpin sejumlah rapat agar pengadaan alat TIK di Kemendikbudristek bisa menggunakan Chrome OS.
Rapat itu dihadiri juga oleh bekas Direktur SD, Sri Wahyuningsih (SW), dan eks Direktur Sekolah Menengah Pertama Kemendikbudristek di lingkungan Direktorat Sekolah Menengah Pertama, Mulyatsyah (MUL).
"Tersangka IBAM yang hadir dalam rapat zoom meeting agar pengadaan TIK di Kemendikbudristek menggunakan ChromeOs sedangkan Staf Khusus Menteri tidak mempunyai tugas dan wewenang dalam tahap perencanaan dan pengadaan barang/jasa," tutur Qohar.
- Bertemu Pihak Google
Pada Februari dan April 2020, Nadiem kemudian menemui pihak Google yaitu WKM dan PRA untuk membicarakan pengadaan TIK di Kemendikbudristek. Setelah pertemuan itu, Jurist menindaklanjuti perintah Nadiem untuk bertemu pihak Google.
Pertemuan itu dilakukan untuk membahas teknis pengadaan TIK di Kemendikbudristek menggunakan ChromeOs diantaranya co-investment 30% dari Google untuk Kemendibudristek.
"Selanjutnya Tersangka JT menyampaikan co-invesment 30% dari Google untuk Kemendibudristek apabila pengadaan TIK Tahun 2020-2022 menggunakan ChromeOs," tutur Qohar.
Kesepakatan dengan Google itu kemudian disampaikan dalam rapat yang dihadiri pejabat Kemendikbudristek, termasuk Sri dan Mulyatsyah dan Sekjen Kemendikbudristek berinisial HM.
Pada Mei 2020, Jurist bersama dengan Sri, Mulyatsyah, dan Ibrahim menggelar rapat melalui aplikasi zoom meeting. Rapat itu dilakukan untuk melaksanakan pengadaan TIK dengan menggunakan ChromeOS milik google pada 2020-2022.
Namun, kala itu, pengadaan belum dilaksanakan.Ibrahim selaku konsultan teknologi bertugas untuk mendorong penggunaan ChromeOS. Dia juga diduga telah memengaruhi Tim Teknis dengan cara mendemonstrasikan Chromebook pada saat zoom meeting dengan tim teknis.
"Bahwa sebagai Konsultan Teknologi sudah merencanakan bersama-sama dengan NAM sebelum menjadi Mendikbudristek untuk menggunakan produk operating system tertentu sebagai satu-satunya operating system di pengadaan TIK Tahun 2020-2022 dan mengarahkan tim teknis mengeluarkan hasil kajian teknis berupa ChromeOs," tutur Qohar.
- Pemilihan Chrome OS
Mulanya, Ibrahim enggan melaksanakan perintah penggunaan ChromeOs dari Google untuk pengadaan TIK dari rapat yang dipimpin oleh Nadiem pada Mei 2020. Kala itu, Ibrahim enggan meneken kajian pertama lantaran ChromeOs tidak disebutkan.
Alhasil, pengadaan TIK itu dibuatkan kajian kedua dengan penyebutan sistem operasi ChromeOs. Singkatnya, buku putih atas review hasil kajian teknis dengan penyebutan ChromeOs diterbitkan.
Buku putih itu kemudian menjadi acuan untuk pengadaan TIK pada tahun anggaran (TA) 2020-2022. Dalam hal ini, Sri kemudian menindaklanjuti perintah agar penggunaan ChromeOs pada pengadaan TIK periode 2020-2022.
Sri selaku Direktur SD mulanya menemui rekannya berinisial IT dari swasta menyuruh BH selaku bekas Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Direktorat SD agar menindaklanjuti perintah Nadiem untuk memilih pengadaan TIK dengan operating system ChromeOS dengan metode e-catalog.
Hanya saja, perintah itu tidak bisa dilaksanakan oleh BH, sehingga Sri kemudian mengganti BH dengan WH sebagai PPK baru untuk melaksanakan tugas itu.
"30 Juni 2020, Tersangka SW mengganti saudara BH dengan saudara WH sebagai PPK yang baru karena tidak mampu melaksanakan perintah Mendikbudristek NAM untuk pengadaan TIK menggunakan ChromeOs," ujar Qohar.
Masih di hari yang sama, WH kemudian langsung menindaklanjuti perintah Sri untuk segera melakukan pemesanan setelah bertemu dengan IN selaku penyedia PT Bhinneka Mentari Dimensi untuk menggunakan ChromeOs pada pengadaan TIK 2020.
Selanjutnya, Sri juga memerintahkan WH untuk mengubah metode e-katalog menjadi SIPLAH (sistem Informasi Pengadaan Sekolah) dan membuat petunjuk pelaksanaan bantuan pemerintah pengadaan TIK di Kemendikbudristek.
Adapun, untuk Sekolah Dasar sebanyak 15 lima belas unit laptop dan connector 1 (satu) unit per sekolah dengan harga Rp88,25 juta dari dana transfer Satuan Pendidikan Kemendikbudristek.
Selanjutnya, Sri juga membuat Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) yang untuk pengadaan TIK menggunakan ChromeOs pada periode 2020-2021.
Pada intinya, perbuatan Sri juga dilakukan pleh Mulyatsyah selaku bekas Direktur SMP. Perbedaannya, MUl juga telah membuat petunjuk teknis pengadaan TIK SMP agar mengarahkan untuk menggunakan ChromeOs.
- Kerugian Negara Capai Rp1,9 Triliun
Adapun, Harli Siregar selaku Kapuspenkum Kejagung RI kala itu menyatakan bahwa kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp1,9 triliun.
Dia merincikan kerugian negara itu timbul dari perhitungan selisih kontrak dengan harga penyedia dengan metode ilegal gain. Perinciannya, item software Rp480 miliar, dan Mark up dari selisih harga kontrak diluar CDM senilai Rp1,5 triliun.
"Sehingga total kerugiannya senilai Rp1,98 triliun," tutur Harli.
Sementara itu, kasus dengan proyek senilai Rp9,3 triliun ini telah memiliki empat tersangka. Mereka yakni Staf Khusus Mendikbudristek tahun 2020–2024 Jurist Tan (JT), konsultan teknologi di Kemendikbudristek Ibrahim Arief (IBAM).
Dua lainnya yaitu, Direktur Sekolah Dasar di Direktorat Sekolah Dasar Kemendikbudristek 2020–2021, Sri Wahyuningsih (SW), dan Direktur Sekolah Menengah Pertama di Direktorat Sekolah Menengah Pertama Kemendikbudristek 2020–2021, Mulyatsyah (MUL). Keduanya juga merupakan kuasa pengguna anggaran dalam proyek ini.