Bisnis.com, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menyita uang tunai senilai Rp970 juta di kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero) periode 2018-2023.
Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar mengatakan uang yang disita itu dilakukan usai pihaknya menggeledah rumah tersangka Dimas Werhaspati selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim.
"Diperoleh di rumah tersangka DW selaku Komisaris PT NK dan Komisaris PT Jenggala Maritim," tutur Harli di Kejagung, Selasa (25/2/2025).
Kemudian, dia merincikan uang tunai yang disita itu terdiri dari beberapa pecahan dollar Singapura, Amerika hingga rupiah. Penyitaan itu dilakukan pada Senin (24/2/2025).
Secara terperinci, 20 lembar uang tunai pecahan 1.000 SGD (Rp243 juta) atau dan 200 lembar mata uang pecahan US$100 (Rp326 juta). Selain itu, ada uang tunai senilai Rp400 juta.
"Serta 4.000 lembar mata uang pecahan Rp100.000, dengan total Rp400 juta," pungkasnya.
Baca Juga
Sebagai informasi, Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS 2018-2023.
Tujuh tersangka itu mulai dari Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga; Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping; hingga anak Riza Chalid, Muhammad Kerry Andrianto Riza selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.
Pada intinya, kasus ini melibatkan penyelenggara negara dengan broker. Kedua belah pihak diduga bekerja sama dalam pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang periode 2018-2023.
Adapun, akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, Kejagung mengungkap bahwa negara dirugikan sekitar Rp193,7 triliun.
Perinciannya, kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun dan kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun.
Selanjutnya, kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun, kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun, dan kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.