Bisnis.com, JAKARTA – Efisiensi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia telah mengalami perubahan signifikan dari berbagai masa kepemimpinan Presiden di Tanah Air. Hal itu merupakan upaya pemerintah dalam menyeimbangkan kebutuhan pembangunan dan pengelolaan keuangan negara.
Setiap pemimpin pun menyesuaikan prioritas dan tantangan yang dihadapi pada setiap periode kepemimpinan. Mulai dari Presiden Ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, Lalu, Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden Ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), hingga Presiden Prabowo Subianto.
Setiap era memiliki fokus dan kebijakan anggaran yang berbeda, mencerminkan prioritas dan tantangan yang dihadapi masing-masing pemerintahan.
Apa perbedaan antara setiap pemimpin dalam menata kelola anggaran pemerintahannya?
Cara Presiden RI Efisiensi Anggaran
1. Efisiensi Era Megawati Soekarnoputri (2001-2004)
Pada masa kepemimpinan Presiden Ke-5 Megawati, Indonesia tengah berupaya memulihkan ekonomi pasca krisis finansial Asia 1997-1998. Fokus utama pemerintah saat itu adalah stabilisasi ekonomi dan restrukturisasi utang.
Data spesifik mengenai alokasi dan efisiensi anggaran pada periode ini terbatas, tetapi prioritas utama adalah pemulihan ekonomi dan penyehatan sektor perbankan.
Baca Juga
Ada banyak gebrakan dalam mengelola keuangan negara yang dilakukan oleh putri proklamator RI Soekarno itu. Salah satunya, pada Desember 2003, pemerintahan Megawati memutuskan untuk mengakhiri program reformasi kerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Keputusan ini diikuti dengan privatisasi perusahaan negara dan divestasi bank guna menutup defisit anggaran negara.
Tak hanya itu, selama masa jabatannya, Megawati juga cenderung cukup waspada dalam menjaga rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang berhasil diturunkan dari 77,32% pada 2001 menjadi 56,60% pada 2004.
2. Era Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)
Di bawah pemerintahan SBY, penggagas partai Demokrat itu pun memiliki sejumlah racikan dalalam mengatur strategi keuangan negara. Misalnya, pada 2011, SBY menyoroti agar biaya rutin (overhead cost) tidak semestinya harus dikurangi.
Meskipun angka anggaran makin naik, tetapi yang diperbanyak bukan untuk overhead cost-nya, tapi justru belanja (spending) atau pengeluaran (expenditure) yang mengarah kepada stimulasi pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan program-program pengurangan kemiskinan.
SBY juga sering mengingatkan tentang kebijakan pemerintah untuk terus mengurangi utang luar negeri. Termasuk, meminta para menteri mengatur pengeluaran. SBY juga selektif dalam melakukan kunjungan kerja ke luar negeri demi menghemat anggaran.
Gebrakan lainnya adalah mingkatkan target dan realisasi penerimaan pajak. Sebagai contoh pada 2005, target penerimaan pajak ditetapkan sebesar Rp334,4 triliun dengan realisasi Rp331,8 triliun. Angka ini terus meningkat hingga 2014, dengan target Rp1.189,8 triliun dan realisasi Rp1.015,8 triliun.
Dari utak-atik keuangan yang ketat, pendiri klub voli putra LavAni pun terlihat menunjukkan hasil yakni pada Oktober 2006, Indonesia melunasi sisa utang sebesar US$3,7 miliar kepada IMF, lebih cepat dari jadwal yang seharusnya pada 2010.
Termasuk, anggaran infrastruktur mengalami peningkatan. Pada 2010, anggaran infrastruktur tercatat sebesar Rp99 triliun dan meningkat 107% menjadi Rp178 triliun dalam lima tahun berikutnya.
Namun, rasio anggaran infrastruktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) rata-rata masih di bawah 5%. Selain itu, subsidi energi, khususnya BBM, menyerap porsi besar anggaran, mencapai lebih dari Rp200 triliun pada periode 2012-2014.
3. Era Joko Widodo (2014-2024)
Presiden Ke-7 RI Jokowi mengalihkan fokus anggaran dengan memangkas subsidi BBM dan mengalokasikan dana tersebut untuk pembangunan infrastruktur.
Pada 2015, anggaran infrastruktur mencapai Rp290 triliun, naik 63% dibandingkan 2014, dengan rasio terhadap PDB sebesar 3,2%. Pada 2016, anggaran ini meningkat menjadi Rp314 triliun atau 3,3% dari PDB. Langkah ini menunjukkan pergeseran prioritas dari subsidi konsumtif ke investasi produktif dalam bentuk infrastruktur.
Mantan Wali Kota Solo itu meracik efisiensi elalui Inpres Nomor 8 Tahun 2016 tentang Langkah-Langkah Penghematan dan Pemotongan Belanja Kementerian/Lembaga dalam Rangka Pelaksanaan APBN 2016.
Bahkan, upaya ini dilakukan Jokowi dengan menunjuk Sri Mulyani pada Juli 2016 untuk menggantikan Bambang Brodjonegoro sehingga instruksi efisiensi anggaran pun ditargetkan Rp64,7 triliun yang menyasar 87 Kementerian/Lembaga
Kementerian Pertahanan pun menjadi instansi yang terkena pemangkasan paling besar mencapai Rp7,93 triliun, disusul Kementerian Pekerjaan Umum sebesar Rp6,9 triliun.
Jokowi pun menghemat anggaran guna menunjang program-program pembangunan, terutama infrastruktur. Efisiensi juga dilakukan karena realisasi penerimaan pajak yang terancam mengalami kekurangan dari target pemerintah hingga mencapai lebih dari Rp200 triliun.
4. Era Prabowo Subianto (2024-sekarang)
Memasuki masa kepemimpinan Presiden Prabowo, pemerintah menginisiasi langkah penghematan anggaran dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025.
Berbeda dengan Jokowi yang berfokus di pusat, Presiden Ke-8 RI itu menyasar penghematan anggaran tak hanya di lingkup Kementerian/Lembaga tetapi juga daerah dengan target Rp306,69 triliun, yang mencakup anggaran kementerian dan lembaga sebesar Rp256,1 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp50,59 triliun.
Kementerian PU pun menjadi instansi terkena pemangkasan paling besar mencapai Rp81 triliun dari alokasi pagu Rp110 triliun. Bahkan, berbeda dengan Jokowi anggaran Kementerian Pertahanan sejauh ini tidak terkena pemangkasan anggaran.
Prabowo pun berulang kali menekankan bahwa efisiensi anggaran dilakukan untuk mendukung program makan bergizi gratis, perumahan, dan swasembada pangan, juga pembangunan sarana pendidikan.