Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Ahmad Djauhar

Wartawan Senior/Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja

Lihat artikel saya lainnya

Opini: Bayang-bayang Kebangkrutan Mengintai AS?

Pemerintah AS telah menerapkan berbagai strategi untuk mengatasi meningkatnya jumlah tunawisma di kota-kota tertentu, misalnya dengan program perumahan-pertama.
Donald Trump (tengah) menyampaikan pidato kemenangannya dalam Pemilu Amerika Serikat (AS), di Florida, AS pada Rabu (6/11/2024). / Bloomberg-Eva Marie Uzcategui
Donald Trump (tengah) menyampaikan pidato kemenangannya dalam Pemilu Amerika Serikat (AS), di Florida, AS pada Rabu (6/11/2024). / Bloomberg-Eva Marie Uzcategui

Bisnis.com, JAKARTA - Hari ini, 20 Januari 2025, bila tidak ada aral melintang, Donald Trump dilantik untuk kedua kalinya sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat, sebuah negeri yang menjelang pengujung 2024 itu memiliki utang kian menggunung, melewati angka US$36 triliun.

Utang sebesar itu, terdiri dari US$29 triliun utang publik, dan US$7 triliun utang pemerintah federal. Hal ini tentu saja mengundang sikap pesimistis sejumlah warga AS maupun masyarakat global, karena kalau sampai ekonomi terbesar dunia itu kolaps, efek domino yang tercipta sungguh tidak terbayangkan.

Toh begitu, AS masih saja ngotot untuk memberikan dukungan finansial maupun militer kepada Israel dan Ukraina dengan gelontoran dana maupun peralatan perang yang seakan tiada habisnya tersebut. Padahal, pembayar pajak di dalam negeri sudah menjerit dan mendesak agar pemerintah AS menghentikan bantuan kepada kedua sekutu utamanya di Timur Tengah dan Eropa tersebut. Tapi, baik Biden maupun Trump tampaknya akan terus melanjutkan dukungan perang di kedua kawasan itu.

Belum lagi bayang-bayang recovery sebagian kawasan California yang kini nyaris rata dengan tanah karena terdampak oleh kebakaran hutan amat dahsyat yang, hingga tulisan ini dibuat, masih berkobar dan berkemungkinan menggelembungkan nilai kerugian yang tidak sedikit. Hingga menjelang akhir pekan lalu, sejumlah kawasan elite di California—Palisade, Malibu, Hurst, dan Eaton—mengalami kerusakan parah akibat musibah bencana yang menghanguskan kawasan dengan luas total 247 hektare  dan merata-dengan-tanah-kan sedikitnya 12.000 rumah maupun struktur bangunan tersebut.

Utang senilai U$36 triliun di atas setara dengan gabungan nilai perekonomian China, Jerman, Jepang, India, dan Britania Raya. Bila di-breakdown, maka setiap keluarga AS kini menanggung utang sebesar US$274.000 atau US$107.000 per kepala warga AS, termasuk bayi yang baru nongol ke dunia. Jadi, jika setiap keluarga menyumbang US$1.000 untuk ngangsur utang tersebut, berdasarkan perhitungan US Census Bureau, negeri adidaya itu memerlukan waktu 23 tahun untuk melunasi utang berskala raksasa tersebut.

Dalam 10 tahun mendatang, pemerintah federal akan membelanjakan lebih banyak uang untuk pembayaran bunga dibandingkan dengan yang biasanya dikeluarkan untuk program R&D atau penelitian dan pengembangan, infrastruktur, dan pendidikan. Namun, dengan timbunan utang itu, AS dapat dikatakan menghabiskan hampir US$3 miliar per hari untuk pembayaran bunga utang saja. Belum cicilan pokoknya.

Utang nasional AS merupakan kekhawatiran yang signifikan bagi perekonomian negeri adidaya itu. Meskipun AS secara historis mampu mengelola utangnya, tingkat utang negeri yang berdiri sejak 4 Juli 1776 itu, kini dan prospeknya memicu timbulnya pertanyaan mengenai keberlanjutan utang negeri tersebut dalam jangka panjang.  

Bila dibandingkan dengan utang Indonesia, memang ibarat Gulliver lawan lilliput. Utang Luar Negeri Indonesia per Agustus 2024 tercatat sebesar US$425,1 miliar dolar AS, atau sekitar 1,18% nilai utang AS. Bagi negeri cowboy itu, utang nasional yang gigantic itu tentu menimbulkan beberapa konsekuensi negatif bagi perekonomian AS.

Pertama, peningkatan pembayaran bunga. Seiring bertambahnya utang, pemerintah harus membayar lebih banyak bunga, yang dapat mengurangi pengeluaran untuk prioritas lain seperti pendidikan, infrastruktur, dan program sosial.

Kedua, potensi berkurangnya pertumbuhan ekonomi. Utang yang tinggi tentu berpotensi sebagai pemicu tingkat suku bunga lebih tinggi, sehingga dapat menghambat investasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.  

Ketiga, meningkatnya risiko krisis utang. Jika investor kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah AS membayar utangnya, hal ini dapat menyebabkan krisis keuangan.  

Keempat, erosi nilai dolar AS. Utang yang tinggi dapat menyebabkan inflasi, sehingga dapat mengikis daya beli dolar AS.  

Masalahnya, mungkinkah perekonomian AS tumbuh lebih cepat daripada utang, sehingga rasio utang terhadap PDB akan menurun? Selain itu, dapatkah suku bunga ditekan lebih rendah, yang berarti memudahkan pemerintah membayar utangnya? Perekonomian global yang kuat memang dapat membantu mendukung perekonomian AS, tapi di tengah berbagai konflik di pelbagai belahan dunia seperti saat ini, tampaknya agak musykil tercipta perekonomian global yang kuat.

Kalau Presiden Trump mampu menciptakan kebijakan fiskal dan moneter yang efektif, hal itu dapat berimbas terhadap pengelolaan utang dan mendorong pertumbuhan ekonomi negeri itu. Tapi, boleh dibilang masa transisi dari Biden ke Trump dalam waktu dekat ini tidak akan dapat serta merta minciptakan kondisi tersebut, apalagi mengingat track record Presiden Trump pada periode pertama—2017-2021—yang dianggap sebagai “tidak baik-baik saja” itu.

AS memang memiliki perekonomian yang kuat dan cukup berpengalaman mengelola utangnya. Selama pemerintah AS dapat mengambil langkah-langkah untuk mengatasi utang dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, perekonomian AS kemungkinan akan tetap kuat dalam jangka panjang. Masalahnya, mampukah pemerintahan Trump nantinya mengatasi pelbagai gejolak itu?

Di Bawah Garis Kemiskinan

AS kini juga menghadapi persoalan serius dengan semakin banyaknya tunawisma alias gelandangan yang mewarnai hampir semua kota di negeri yang akan dipimpin kedua kalinya oleh Donald Trump itu. Sekitar tiga dekade silam, ketika saya untuk pertama kalinya menempuh perjalanan jurnalistik ke negeri Abang Sam tersebut, kaum homeless hanya terlihat di sejumlah kota besar saja seperti di New York, San Francisco, dan Los Angeles.

Namun, mengintip ‘laporan’ sejumlah vlogger yang diunggah ke pelbagai media sosial saat ini, populasi kaum kere di kota kecil macam Kensington di negara bagian Philadelphia saja terlihat cukup meruyak.

Sampai-sampai, pemda setempat perlu menempuh program clear off untuk mengatasi kaum gelandangan yang ramai-ramai ngebroki atau mendirikan tenda-tenda secara liar di berbagai taman kota. Kalau sudah deikian, aneka persoalan sosial yang cenderung kriminal meningkat, seperti penyalahgunaan narkoba, prostitusi, pembegalan terhadap warga kota yang melintas, dan sebagainya.

Menurut data statistik AS, kondisi tuna wisma di AS juga semakin parah. Pada 2023, diperkirakan terdapat sekitar 653,100 orang yang mengalami keadaan tanpa tempat tinggal. Angka ini meningkat sebesar 12.1% dibandingkan tahun sebelumnya. Beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan ini, termasuk di antaranya adalah kenaikan tarif sewa hunian, kurangnya perumahan berharga terjangkau, dan kondisi ekonomi negeri adi daya itu yang cenderung  tidak stabil.

Gambaran umum kemiskinan di Amerika Serikat pada 2025 memang menunjukkan trende penurunan dalam beberapa indikator, namun tantangan masih ada. Berdasarkan data terbaru, tingkat kemiskinan di AS menunjukkan kecenderungan turun, dengan sekitar 11,6% populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan pada 2024, turun tipis menjadi 10,8% pada 2025.

Meskipun demikian, terdapat sejumlah faktor yang masih menjadi tantangan, seperti ketimpangan pendapatan, akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan perumahan. Pemerintah dan organisasi non-profit terus berupaya untuk mengatasi masalah-masalah ini dengan berbagai program sosial dan kebijakan ekonomi.

Jumlah tunawisma di beberapa kota di AS yang cenderung meningkat itu menjadikan pemerintah AS terlihat agak kedodoran mengatasi masalah tersebut, karena sedikit banyak menyeret persoalan sosial seperti meningkatnya kriminalitas di perkotaan dan ketidaknyamanan lainnya. Aksi looting alias penjarahan massal di sejumlah toko di beberapa kota di AS kini menjadi berita yang sering mengudara di media massa maupun media sosial.

Kendati pemerintah AS telah menerapkan berbagai strategi untuk mengatasi meningkatnya jumlah tunawisma di kota-kota tertentu, misalnya dengan program perumahan-pertama, namun hasilnya dianggap belum memuaskan.

Beberapa program merumahkan warga penyandang status tunawisma a.l. dilakukan melalui program memberikan bantuan sewa tempat tinggal yang bersifat segera berbatas waktu yang dimaksudkan untuk membantu individu dan keluarga dengan cepat bertransisi ke perumahan yang stabil. Selain itu, terdapat pula program yang menawarkan perumahan jangka panjang dengan harga terjangkau dikombinasikan dengan layanan pendukung untuk membantu individu tunawisma kronis.

Pemerintah federal kabarnya telah mengambil beberapa langkah untuk mengatasi permasalahan kemiskinan dan tuna wisma seperti program bantuan sosial, program perumahan, pendidikan dan pelatihan kerja, kesehatan keluarga berpenghasilan rendah, pengentasan tuna wisma, serta kebijakan ekonomi pro kesempatan kerja.

Pemerintahan Biden tercatat menerapkan kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan penghasilan, seperti peningkatan minimum wage dan insentif bagi perusahaan untuk menyediakan pekerjaan yang berkelanjutan. Selain itu, Biden juga menerapkan kebijakan yang cenderung sosialis, misalnya memberikan subsidi bagi rakyat miskin agar mereka dapat memiliki perumahan dengan harga terjangkau, memperkecil ketimpangan pendapatan, serta mengatasi perawatan kesehatan mental dan penyalahgunaan narkoba.

Bagaimana mencetak lebih banyak ketersediaan perumahan terjangkau? Tentu harus melalui investasi pada perumahan rakyat, program bantuan sewa, dan perumahan pendukung. Karena, sudah menjadi rahasia umum bahwa semakin banyak warga AS yang menderita ketimpangan pendapatan dan angka kemiskinan juga cenderung meningkat. Pemerintah AS sampai harus menempuh program pemberian bantuan sewa rumah untuk mencegah penggusuran dan tunawisma.

Pemberian subsidi untuk perumahan oleh pemerintahan Biden dinilai sebagai kebijakan yang wajar dan memiliki tujuan untuk membantu masyarakat Amerika Serikat, terutama mereka yang membutuhkan. Kebijakan ini dianggap sejalan dengan program-program pemerintah sebelumnya yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat.

Walhasil, dengan beban utang yang sedemikian besar ditambah berbagai subsidi prorakyat itu, Amerika Serikat terkesan dibayang-bayangi kebangkrutan. Benarkah demikian? Kemungkinan bagi AS untuk bangkrut dianggap sangat kecil.

Amerika merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia, memiliki mata uang yang kuat, dan sumber daya keuangan yang melimpah. Utang negara memang merupakan masalah besar, tapi hal itu bukan merupakan ancaman langsung terhadap stabilitas keuangan negara. Namun, untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, diperlukan pengambilan kebijakan yang cermat dan perencanaan jangka panjang.

Kebijakan subsidi yang dicanangkan oleh pemerintahan Biden kemungkinan besar tidak akan diteruskan oleh Donald Trump yang memiliki latar belakang kapitalis-liberal kuat. Trump bahkan berencana untuk menghentikan subsidi besar-besaran untuk kendaraan listrik dan stasiun pengisian daya yang merupakan andalan Biden tersebut. Selain itu, Trump juga berencana untuk menggelontorkan subsidi besar-besaran untuk industri batubara yang dapat memperpanjang ketergantungan Amerika Serikat pada bahan bakar fosil.

Dengan demikian, beban hidup rakyat miskin di AS nampaknya akan semakin berat saat Trump kembali memimpin pasca-pelantikannya tersebut. Kebijakan Trump cenderung tidak mendukung subsidi untuk kelompok miskin, sehingga berpotensi memperburuk kondisi ekonomi mereka. Subsidi yang diberikan oleh pemerintahan Biden, seperti subsidi perumahan, mungkin akan dikurangi atau bahkan dihentikan.

Dua beban utama: Israel dan Ukraina

Mengapa AS bersikeras untuk tetap memberikan dukungan finansial dan teknis/militer kepada Israel dan Ukraina, padahal masalah dalam negerinya semakin meningkat dan mengapa pemerintah Amerika tidak berusaha menyelesaikannya terlebih dahulu?

Keputusan pemerintah AS untuk terus memberikan dukungan finansial dan teknis kepada Israel dan Ukraina, meskipun ada tantangan dalam negeri, merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh banyak faktor.

AS memandang Israel sebagai sekutu strategis di Timur Tengah, kawasan yang penting bagi kepentingan AS. Hubungan ini sering digambarkan sebagai “hubungan khusus”, yang berakar pada nilai-nilai demokrasi dan masalah keamanan bersama.

Sedangkan untuk kasus Ukraina, AS memandang invasi Rusia ke Ukraina sebagai ancaman terhadap keamanan Eropa dan tatanan yang berbasis aturan global. Mendukung Ukraina dipandang sebagai cara untuk mencegah agresi Rusia dan menegakkan norma-norma internasional.

Selain itu, Israel dan Ukraina memiliki kelompok lobi yang kuat di AS yang mempengaruhi pembuat kebijakan dan opini publik. Kelompok-kelompok ini menganjurkan dukungan yang berkelanjutan, sehingga secara politis sulit untuk mengurangi bantuan. Terdapat semacam konsensus bipartisan. Dukungan terhadap Israel dan Ukraina sering kali melampaui batas partai, baik Partai Demokrat maupun Republik umumnya mendukung paket bantuan tersebut.

Selain itu, terdapat pula pertimbangan ekonomi yang kuat terhadap kebijakan mendukung kedua sekutunya tersebut. Kompleks industri militer AS, misalnya, memperoleh keuntungan besar dari penjualan senjata ke Israel dan Ukraina. Hal ini menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan perekonomian.

Juga terdapat faktor hegeoni geopolitik. Dengan memberikan bantuan, AS dapat memperkuat pengaruhnya di kawasan-kawasan utama dan mempertahankan posisinya sebagai negara adidaya global. Pemberian bantuan tersebut mempertimbangkan pula prioritas dalam dan luar negeri AS.

Meskipun Amerika menghadapi tantangan dalam negeri, Amerika juga menyadari pentingnya mengatasi permasalahan global. Pemerintah sering kali berupaya untuk menyeimbangkan prioritas-prioritas yang saling bersaing ini, namun hal ini merupakan tindakan penyeimbangan yang rumit.

Pemerintah AS memang mengalokasikan sumber daya yang signifikan untuk mengatasi permasalahan dalam negeri. Namun, keputusan kebijakan luar negeri seringkali dipengaruhi oleh kombinasi faktor strategis, politik, dan ekonomi.

Pada akhirnya, pemberian bantuan kepada Israel dan Ukraina adalah keputusan yang rumit dan tidak mudah difahami, baik oleh warga AS apalagi oleh masyarakat internasional. Hal ini mencerminkan betapa sengit perdebatan yang sedang berlangsung mengenai peran Amerika Serikat di dunia dan keseimbangan antara prioritas dalam dan luar negeri.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ahmad Djauhar
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper