Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bayang-bayang Proteksionisme di Balik Kemenangan Trump di Pemilu AS

Ingatan tentang proteksionisme dan populisme membayangi kemenangan Trump pada Pilpres AS.
Pemenang Pemilu Presiden Amerika Serikat 2024 Donald Trump (tengah), Istri Melania Trump (kiri) dan Putra mereka Barron Trump. Bloomberg/Eva Marie Uzcategui
Pemenang Pemilu Presiden Amerika Serikat 2024 Donald Trump (tengah), Istri Melania Trump (kiri) dan Putra mereka Barron Trump. Bloomberg/Eva Marie Uzcategui

Bisnis.com, JAKARTA -- Donald Trump mengalahkan politikus Partai Demokrat, Kamala Harris, dalam pemilihan presiden Amerika Serikat alias Pilpres AS. Kemenangan Trump menjadi babak baru dalam lanskap politik global, apalagi dengan status AS sebagai negara kekuatan militer dan ekonomi nomor 1 di dunia.

"Amerika telah memberi kita mandat yang belum pernah ada sebelumnya," ujar Trump saat menyampaikan pidato kemenangannya.

Trump adalah seorang politikus Partai Republik yang selalu dikaitkan dengan kalangan konservatif yang mengedepankan politik populisme. Bloomberg, misalnya, menyambut kemenangan Trump dengan memberi catatan tebal dalam salah satu artikelnya yang berjudul 'Trump’s Populism Is Unleashed After Resounding White House Comeback."

Sementara itu, Gary Gerstle (2022) dalam tulisannya berjudul The Rise and Fall of the Neoliberal Order: America and the World in the Free Market Era menulis bahwa kemunculan populisme dan proteksionisme Trump telah menjadi salah satu pemicu kemunduran neoliberalisme.

Donald Trump
Donald Trump

Trump memang fenomena tersendiri dalam sejarah AS. Dia adalah simbol dari keruntuhan liberalisme Barat yang penuh dengan kontroversi. Slogan terkenalnya adalah ‘Make America Great Again',  yang ingin mengembalikan superioritas Amerika Serikat.  Konsensus-konsesus global, yang telah diwariskan oleh para pendahulunya dia tabrak. Ia menerapkan tarif tinggi kepada produk-produk China. Terjadi 'trade war’  yang kemudian membuat ‘tatanan global’ terguncang.

Tetapi aksi-aksi Trump, dalam konteks AS bisa dilihat dalam banyak aspek. Ekonomi AS pada waktu Trump naik belum sepenuhnya pulih. Data World Bank menunjukkan bahwa sejak tahun krisis global 2008 silam, ekonomi AS hanya mampu tumbuh di angka 2 persenan. Paling tinggi 5,9 persen pada 2021 lalu. Itupun setelah mengalami kontraksi menjadi minus 2,8 persen pada tahun 2020, karena pandemi.

AS juga mengalami masalah serius dalam neraca perdagangan dengan China. Pada saat Trump berkuasa neraca perdagangan AS mengalami defisit US$375,16 miliar.

Hal inilah yang kemudian memicu Trump untuk mengeluarkan kebijakan proteksionisme dengan menerapkan tarif tinggi kepada produk-produk China. Trade War meletus. Meski pada akhir pemerintahannya, kebijakan Trump tidak banyak membantu memperbaiki trade balance AS dengan China. Defisit neraca perdagangan AS dengan China masih tetap besar yakni di angka US$352,85 miliar.

Kondisi tersebut sejatinya terus berlangsung hingga September 2024 lalu, neraca perdagangan AS tercatat masih defisit sebanyak US$84 miliar. Angka defisit tersebut naik dibandingkan dengan periode Agustus 2024 yang mencapai US$70 miliar.

Sementara itu, secara keseluruhan sampai September 2024, khusus perdagangan dengan China, defisit neraca perdagangan barang dan jasa AS mencapai dengan China tembus US$217 miliar. 

Bagaimana Trump dan Indonesia? 

Adapun kebijakan proteksionisme Trump pada episode pertama pemerintahannya tidak hanya menyasar China. Indonesia pun juga kena getahnya. Apalagi, neraca perdagangan AS dan Indonesia juga tercatat defisit.

Data Biro Sensus Amerika Serikat mencatat bahwa hingga kuartal 3/2024, defisit neraca perdagangan AS dengan Indonesia mencapai US$12,8 miliar. Pada 2023 lalu, defisit negara perdagangan AS dan Indonesia mencapai US$16,9 miliar.

Selain soal neraca perdagangan, pada tahun 2020 lalu, AS juga melakukan investigasi formal terkait dengan perihal penerapan pajak digital baru di beberapa negara yang dikhawatirkan secara tidak adil hanya menargetkan perusahaan-perusahaan teknologi raksasa seperti Facebook.

Dalam penyelidikan tersebut, pihak AS akan melakukan pemeriksaan atas beberapa skema penerapan pajak di 10 wilayah yurisdiksi, termasuk Indonesia. Selain Indonesia, penyelidikan dilakukan di Austria, Brazil, Republik Ceko, Uni Eropa, India, Italia, Turki, Spanyol, dan Inggris.

Dalam catatan Bisnis, penyelidikan dilakukan setelah sejumlah negara mulai mempertimbangkan perihal penerapan pajak untuk layanan daring asa AS yang saat ini dikatakan mengeluarkan biaya terlalu kecil dan dinilai harus membayar pajak sesuai dengan aturan di masing-masing yurisdiksi tempat layanan mencari pundi-pundi.

Pihak AS mengatakan perihal penerapan pajak digital tersebut seharusnya disepakati di forum multilateral melalui Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Namun, diskusi yang berlangsung di forum tersebut berjalan lambat sehingga banyak negara yang justru mengambil tindakan masing-masing.

Ancaman Stagflasi

Di sisi lain, ekonom mengungkapkan Amerika Serikat berpeluang alami stagflasi usai Donald Trump diproyeksikan memenangkan Pilpres AS 2024. Stagflasi tersebut bisa mengancam perekonomian Indonesia. 

Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David E Sumual menjelaskan kebijakan ekonomi Trump cenderung mengarah ke inflasi. Artinya, kebijakan-kebijakan Trump akan cenderung menyebabkan inflasi meningkat.

Dia mencontohkan, Trump berencana mengenakan tarif bea impor sebesar 20% untuk produk non-China dan 60% untuk produk China. 

"Dampaknya, penurunan suku bunga patokan The Fed [bank sentral AS] mungkin tidak akan secepat ekspektasi semula. Di saat yang sama juga ekonomi AS melambat," jelas David kepada Bisnis, Rabu (6/11/2024).

Oleh sebab itu, sambungnya, ekonomi AS berpeluang alami stagflasi. Stagflasi dapat dipahami sebagai situasi ekonomi dengan pertumbuhan yang lambat, tingkat pengangguran yang tinggi, sekaligus inflasi.

"Perlu kebijakan struktural juga untuk mendorong FDI [Foreign Direct Investment/penanaman modal asing langsung] dan ekspor," ujarnya.

Sementara itu, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) mewanti-wanti dampak perubahan lanskap politik Amerika Serikat bagi kinerja ekspor dan investasi di Tanah Air. Kekhawatiran itu seiring Donald Trump diproyeksikan memenangi pemilihan presiden di Amerika Serikat.

Sekretaris Jenderal HIPMI Anggawira menjelaskan bahwa selama kampanye, Trump sangat kental dengan agenda proteksionisme. Dia mencontohkan, Trump berencana menerapkan tarif tinggi dan pengetatan aturan perdagangan untuk barang-barang impor.

"Ini bisa mempengaruhi ekspor Indonesia ke Amerika Serikat, terutama di sektor-sektor strategis seperti tekstil, elektronik, dan produk-produk manufaktur lainnya," jelas Angga kepada Bisnis, Rabu (6/11/2024).

Oleh sebab itu, dia mendorong semua pemegang kepentingan meningkatkan daya saing di pasar regional seperti memperkuat kerja sama perdagangan dengan negara-negara kawasan Asean atau dengan mitra non-tradisional.

Tak hanya ancaman dari sisi perdagangan, Angga meyakini kemenangan Trump akan berdampak secara negatif ke realisasi investasi di Indonesia. Bagaimanapun, Amerika Serikat (AS) kerap menjadi salah satu negara dengan realisasi penanaman modal asing terbesar di Indonesia.

Kebijakan Trump yang cenderung proteksionis ditakutkan akan mendorong penarikan atau pengalihan investasi keluar dari pasar negara-negara berkembang seperti Indonesia.

"Hipmi akan mendorong pemerintah untuk mempercepat reformasi regulasi dalam rangka menarik lebih banyak investasi ke dalam negeri, sehingga kita tetap kompetitif dalam menghadapi gejolak ekonomi global," kata Angga.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper