Bisnis.com, SURABAYA — Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menemukan adanya kesenjangan antara program studi dan kebutuhan industri.
Hal itu terungkap di dalam salah satu paper disertasi AHY berjudul “Bridging the Gap: Orchestrating Indonesian Higher Education,” yang telah terbit di Journal of Theoretical and Applied Management.
Adapun, disertasi AHY berjudul “Transformational Leadership and Human Resource Orchestration towards Indonesia Emas 2045” untuk meraih gelar doktor dalam Program Studi Pengembangan Sumber Daya Manusia di Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya.
Dalam paper tersebut, Ketua Umum Partai Demokrat itu membahas kesesuaian pendidikan tinggi dengan kebutuhan sumber daya manusia (SDM) di Indonesia. Namun, nyatanya di dalam paper itu menemukan adanya kesenjangan antara program studi dan kebutuhan industri.
AHY mengungkap bahwa perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS) didominasi oleh program Non-STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics). Tercatat, jumlah program studi STEM sebanyak 21.776, sedangkan Non-STEM sebanyak 62.769.
“Padahal, transformasi ekonomi membutuhkan lebih banyak lulusan berbasis STEM,” ungkap AHY di Aula Garuda Mukti Univeritas Airlangga, Surabaya, Senin (7/10/2024).
Baca Juga
Jika dibandingkan secara kuantitas, kata AHY, lulusan bidang STEM di Indonesia sekitar 20%. Kondisi ini berbeda dengan Malaysia dengan lulusan di bidang STEM mencapai 43,5%.
Sementara itu, China mencatatkan lulusan di bidang STEM mencapai 41%, Singapura 36,3%, India 34%, dan Korea Selatan sebanyak 30,2%.
Selain itu, penelitian ini juga menemukan adanya ketidaksesuaian antara kebutuhan industri dan lulusan pendidikan.
AHY menuturkan, ketika Industri membutuhkan tenaga ahli processing atau manufaktur, wholesale and retail, serta pertanian, kehutanan dan perikanan, namun yang tersedia adalah lulusan manajemen, guru SD, dan teknik informatika. Bahkan, AHY juga menemukan ketidaksesuaian ini juga terlihat di tingkat nasional dan provinsi.
Padahal, lanjut dia, program studi harus dibangun sedekat mungkin dengan laboratorium lapangannya, sesuai dengan potensi daerah setempat dan ekosistem sektor industri.
“Seperti contoh di Bali, seharusnya diperbanyak lulusan pariwisata, perhotelan dan ekonomi kreatif, bukan program studi sosial,” tuturnya.
AHY juga menemukan adanya ketidaksesuaian antara prioritas industri dengan program studinya. Misalnya yang terjadi di Kalimantan, AHY menuturkan bahwa dengan potensi tambang dan hutan, namun program studi didominasi oleh teknik non-tambang.
Kemudian, di Sulawesi, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki potensi besar di bidang agrikultur, perikanan, peternakan dan kehutanan, namun sebaran pendidikan tinggi didominasi oleh program studi di bidang kesehatan dan pendidikan.
“Ke depan, hal ini perlu kita lakukan evaluasi bersama, agar pengembangan program studi di pendidikan tinggi, betul-betul sesuai dan cocok untuk pengembangan potensi daerah masing-masing,” ujarnya.