Bisnis.com, JAKARTA -- MPR telah mencabut Ketetapan alias TAP MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Nama Presiden ke-2 RI, Soeharto, kemudian secara resmi dihapus dari Ketetapan (TAP) MPR No XI/MPR/1998 tersebut.
Bila menilik sejarahnya, TAP MPR No.XI/1998 lahir dalam gegap gempita reformasi. Desakan untuk membongkar KKN dan mendorong pengadilan terhadap Soeharto dan kroninya, begitu kuat pada waktu itu.
MPR yang masih menjadi lembaga superpower yang bisa mengangkat dan memberhentikan presiden juga nurut kehendak rakyat pada waktu itu.
Adapun ketetapan ini ditandatangani langsung oleh Ketua MPR Harmoko, Hari Sabarno, Abdul Gafur, Ismail Hasan Metareum, Fatimah Achmad, dan Poedjono Pranjoto pada tanggal 13 November 1998.
Salah satu pasal dalam ketetapan MPR ini berbunyi: Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta atau konglemerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak azasi manusia.
Baca Juga
Eksistensi pasal tersebut merupakan implikasi dari 3 dari 6 tuntutan reformasi. Pertama, terkait dengan supremasi penegakan hukum. Kedua, good governance yang bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme. Ketiga, pengadilan terhadap Soeharto dan kroni-kroninya.
Dalam catatan Bisnis, penghapusan 'dosa' KKN Presiden Soeharto berlangsung hanya beberapa waktu pasca MPR mencabut Ketetapan MPR No.XXIII/1966 tentang tuduhan pengkhianatan oleh Sukarno. TAP MPRS ini dibikin oleh pemerintahan transisi militer yang dipimpin oleh AH Nasution. TAP MPR No.XXIII/1966 menandai kemunculan Soeharto sebagai pengganti Sukarno.
Kemunculan Soeharto
TAP MPRS No.33/1967 memiliki sejumlah 6 pasal utama. Pertama, bahwa Presiden Sukarno telah tidak dapat memenuhi pertanggungan-jawab konstitusional, sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara), sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Kedua, menyatakan bahwa Presiden Sukarno telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara), sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Ketiga, melarang Presiden Sukarno melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya ketetapan ini menarik kembali mandat Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dari Presiden Sukarno serta segala Kekuasaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Keempat, menetapkan berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) No. XV/MPRS/1966, dan mengangkat Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum.
Kelima, pejabat presiden tunduk dan bertanggung-jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara). Keenam, menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Sukarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden.
Respons Keluarga Soeharto
Penghapusan nama Soeharto resmi berlaku dalam agenda Silahturahmi Kebangsaan Pimpinan MPR RI bersama Keluarga Presiden Soeharto di Kompleks Parlemen, Jakarta pada Sabtu (28/9/2024).
Acara tersebut dihadiri oleh beberapa anggota keluarga Soeharto seperti Siti Hardijanti Hastuti Rukmana atau Tutut Soeharto, Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto, serta Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, dan Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas.
Plt Sekretaris Jenderal MPR, Siti Fauziah menjelaskan, keputusan MPR untuk menghapus nama Soeharto tertuang dalam Surat Jawaban Pimpinan MPR No B-1372I/HK.00.00/B-VII/MPR/09/2024 tertinggal 24 September 2024 dalam menindaklanjuti surat Pimpinan fraksi Partai Golkar perihal pasal 4 TAP XI/MPR/1998.
"Untuk ditegaskan oleh Pimpinan MPR RI bahwa Pasal 4 TAP MPR No XI/MPR/1998 khususnya yang secara eksplisit menyebutkan Nama Mantan Presiden Soeharto agar dinyatakan sudah dilaksanakan tanpa mencabut ketetapan tersebut," kata Siti saat membacakan surat jawaban Pimpinan MPR.
Siti memaparkan, salah satu alasan pencabutan nama Soeharto dari ketetapan tersebut adalah karena upaya hukum yang dilakukan kepada Soeharto secara pribadi sudah selesai dilakukan.
Hal tersebut seiring dengan keluarnya keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk memberikan kepastian hukum melalui Surat Keputusan Perintah Penghentian Penuntutan (SKPPP) oleh Kejaksaan Agung pada 2006 lalu sesuai dengan Pasal 140 ayat 1 KUHAP.
Selain itu, penghentian ini juga tertuang dalam Keputusan Mahkamah Agung No 140 PK/Pdt/2015 karena alasan penyakit permanent yang diderita Soeharto kala itu.
Dia melanjutkan, Soeharto telah meninggal dunia pada 27 Januari 2008. Sesuai dengan ketentuan pada Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maka ada kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia.
Lebih lanjut, dalam Rapat Gabungan 23 September 2024 lalu, Pimpinan MPR telah menyetujui untuk menegaskan Badan Pengkajian MPR untuk melakukan studi atas kedudukan hukum dan tindak lanjut TAP MPR No XI/MPR/1998, termasuk ketetapan MPR/MPRS lain yang dinyatakan masih berlaku sesuai ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No I/MPR/2003.
"Pimpinan MPR RI mendorong agar jasa dan pengabdian Mantan Presiden Soeharto yang telah memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade dapat diberikan penghargaan yang layak sesuai peraturan yang berlaku," jelas Siti
Adapun, nama Soeharto disebut pada Pasal 4 TAP MPR No TAP XI/MPR/1998. Ketetapan tersebut berisi upaya pemberantasan KKN yang harus dilakukan secara tegas tanpa pandang bulu, termasuk ditujukan untuk Soeharto.
“Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia,” demikian kutipan pasal 4 TAP MPR tersebut.
Agenda Silahturahmi Kebangsaan Pimpinan MPR RI bersama Keluarga Presiden Soeharto di Kompleks Parlemen, Jakarta pada Sabtu (28/9/2024). Dalam acara tersebut, MPR RI resmi menghapus nama Mantan Presiden Soeharto dari Ketetapan MPR (Tap MPR) No TAP/XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan nepotisme.