Bisnis.com, JAKARTA -- Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, buka-bukaan tentang pemberian izin tambang untuk organisasi masyarakat keagamaan. Ia mengatakan dari sekian banyak ormas, hanya Nahdlatul Ulama (NU) yang cukup serius mengajukan pengelolaan izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
"Baru NU mereka datang kita ajak berkomunikasi. Yang lainnya belum," ujar Bahlil.
Isu tentang pemberian izin usaha pertambangan khusus atau IUPK kepada ormas keagamaan menjadi perbincangan hangat publik maupun kalangan elite politik. Politikus PDIP, Deddy Sitorus, saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Bahlil Selasa kemarin, misalnya, mempertanyakan urgensi pemberian IUPK kepada organisasi keagamaan.
Deddy bahkan menyinggung kalau acuan pemberian IUPK adalah ormas atau pihak yang paling berjasa kepada negara, banyak kalangan atau kelompok masyarakat yang membutuhkan perhatian dari pemerintah.
Ia mencontohkan masyarakat adat yang berada di sekitar lokasi penambangan. Nasib mereka justru sering kali dipinggirkan dan tidak banyak diperhatikan oleh pemerintah. Padahal mereka adalah masyarakat asli dan terkena dampak langsung dari aktivitas penambangan perusahaan batu bara yang mayoritas berpusat di Jakarta.
"Di Kalimantan itu, sampai ke desa-desa mereka mempunyai lembaga adat, ini kan sebenarnya pemilik langsung dari kekayaan alam kita itu, ini bagaimana?," ujarnya.
Baca Juga
Bahlil tidak menjawab secara spesifik pertanyaan dari Deddy Sitorus. Ia hanya mengungkapkan bahwa proses pembahasan izin tambang kepada ormas keagamaan telah dipertimbangkan secara detail termasuk dibahas bersama dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral alias Menteri ESDM.
"Kalau gini, kita godok dengan menteri ESDM, kemudian inventarisasi mana ormas yang menjadi prioritas setelah itu laporkan ke presiden baru terbit, jadi sekarang posisinya masih sama."
Adapun, Bahlil dalam kesempatan terpisah mengungkap izin tambang untuk organisasi kaum Nahdliyin akan segera terbit. Ia mengatakan NU nantinya akan mengelola tambang bekas penciutan lahan PT Kaltim Prima Coal (KPC).
KPC adalah anak usaha PT Bumi Resource Tbk (BUMI), emiten pertambangan yang dikendalikan oleh grup Bakrie dan Salim. Grup Bakrie melalui BUMI menguasai saham KPC sebesar 25%, Sitrade Coal sebesar 26% dan sisanya dikuasai entitas di Mauritius dan Belanda masing-masing 30% dan 19%.
Kaltim Prima Coal adalah satu kontraktor pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) generasi pertama yang telah berakhir pada 31 Desember 2021 dan kemudian diperpanjang dengan IUPK sampai 10 tahun ke depan. Wilayah operasi KPC berada di Kabupaten Kutai Timur khususnya di Sangatta dan Bengalon. Luasnya konsesi tambang KPC sebesar 61.543 hektare dan memproduksi sebanyak 53,5 juta ton selama tahun 2023 lalu.
Kendati demikian, Bahlil menekankan bahwa, PBNU atau ormas agama lainnya yang telah menerima IUPK harus mengelolanya secara profesional. Pasalnya, lanjut Bahlil, pemerintah ingin memastikan bahwa ormas penerima IUPK telah memiliki badan usaha, sehingga ke depan IUPK itu tidak jatuh ke pihak di luar ormas keagamaan.
“Pengelolaannya harus profesional, harus betul-betul bisa memberikan income kepada badan usaha milik ormas.”
Stigma Negatif Batu Bara
Di sisi lain, pertambangan batu bara atau emas hitam telah lama menerima stigma tidak ramah lingkungan. Bisnis beberapa waktu yang lampau pernah menulis praktik maupun modus perusahaan batu bara yang mengakali pajak dengan menaruh keuntungan mereka di wilayah suaka pajak atau tax haven.
Adapun, PBNU sempat mengeluarkan fatwa haram atas aktivitas ekploitasi sumber daya alam Indonesia yang menyebabkan kerusakan lingkungan pada 2015 lalu. Putusan haram tersebut atas eksploitasi kekayaan alam yang berlebihan sehingga menimbulkan mudarat yang lebih besar daripada mashlahatnya.
Isu yang diangkat oleh PBNU ini berangkat dari keprihatinan para kiai melihat kerusakan luar biasa alam dan juga pencemaran lingkungan seperti lubang-lubang raksasa di Kepulauan Riau, Papua, Kalimantan, Aceh, Sidoarjo akibat eksploitasi alam berlebihan.
Fatwa PBNU tersebut masih relevan hingga saat ini, apalagi Laporan Hasil Laporan Hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) terhadap Kepatuhan atas Pemenuhan Kewajiban Pemegang Perizinan Berusaha dan Persetujuan Lingkungan Terhadap Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2020 – 2023 mengungkap potensi kerugian yang sangat fantastis akibat ketidakpatuhan pemilik IUP memenuhi kewajiban pasca tambang.
(Ilustrasi tambang batu bara)
Ada tiga poin penting yang diungkap BPK dalam laporan terbarunya itu. Pertama, BPK menemukan pemegang perizinan berusaha terindikasi belum memulihkan fungsi lingkungan hidup pada areal IUP yang telah habis masa atau dicabut seluas kurang lebih 179.455 hektare.
Sementara proses peninjauan terhadap data penempatan jamrek/jamtup diketahui hanya 159 dari 2.026 yang telah menempatkan jaminan dengan total nilai jaminan reklamasi dan pasca tambang senilai Rp5,9 triliun dan US$1,84 miliar.
Nilai jaminan tersebut lebih rendah dibandingkan potensi nilai kerugian yang teridentifikasi berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2014 adalah senilai Rp84,3 triliun. Kedua, pemegang perizinan berusaha terindikasi belum memulihkan fungsi lingkungan hidup pada areal bekas pertambangan tanpa IUP seluas kurang lebih 253.242,66 hektare.
BPK mencatat akibat praktik tidak terpuji tersebut, terdapat potensi nilai kerugian lingkungan senilai Rp119,4 triliun. Jumlah kerugian itu terdiri dari biaya pemulihan senilai Rp55,6 triliun, penggantian biaya penyelesaian sengketa Rp1,3 triliun dan kerugian ekosistem Rp62,4 triliun.
Ketiga, pemegang perizinan berusaha terindikasi belum memulihkan fungsi lingkungan hidup pada IUP yang akan habis masa dalam dua tahun seluas kurang lebih 133.901,70 hektare belum dilakukan reklamasi. Lembaga auditor negara itu menemukan bahwa akibat belum dilakukan reklamasi pasca tambang, potensi kerugiannya mencapai Rp61,9 triliun.
Jumlah itu terdiri dari biaya pemulihan senilai Rp29,4 triliun, penggantian biaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup senilai Rp190,2 miliar, dan kerugian ekosistem senilai Rp32,37 triliun.
Adapun BPK telah menelusuri lebih lanjut pada data jaminan reklamasi dan jaminan pasca tambang, diketahui bahwa dari 492 pemegang IUP hanya 61 pemegang IUP yang telah menempatkan jaminan dengan total nilai jaminan reklamasi dan pasca tambang senilai Rp3,39 triliun dan US$119 juta.
Nilai jaminan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan taksiran nilai pemulihan atas potensi kerugian lingkungan pada tabel di atas sehingga terdapat IUP yang belum menempatkan jaminan.
Temuan BPK itu juga sejalan dengan riset Jaringan Advokasi Tambang atau JATAM. Mereka mencatat telah lebih dari 80.000 titik lubang tambang yang dibiarkan menganga tanpa rehabilitasi. Lubang-lubang tambang itu menjadi mesin pembunuh massal. “Di Kalimantan Timur, misalnya, telah menelan korban tewas 49 orang, mayoritas anak. Kasus-kasus ini dibiarkan begitu saja, tanpa penegakan hukum,” ujar Melky Nahar dilansir dari siaran resminya, Mei 2024 lalu.
JATAM kemudian meminta ormas keagamaan menolak konsesi tambang yang diberikan Jokowi. Menurut mereka yang mendesak dilakukan adalah melakukan evaluasi menyeluruh dan pemulihan dampak sosial-ekologis. “Sekaligus penegakan hukum yang tegas atas rentetan kejahatan kemanusiaan dan lingkungan oleh korporasi tambang.”
Soal penegakan hukum, KPK pernah menetapkan bekas Bendahara PBNU, Mardani H Maming, sebagai tersangka dalam kasus penerbitan Surat Ketatapan (SK) Pengalihan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Kasus itu terjadi ketika Mardani menjabat sebagai Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.